[caption id="attachment_257984" align="aligncenter" width="614" caption="Cantik dan wangi tapi bukan peri (dok. pribadi)"][/caption]
Saya besar di desa yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari kota Yogyakarta tetapi desa kami baru mendapat listrik ketika saya kelas 2 SMP. Ketika saya masih kecil desa cukup gelap pada malam hari. Hanya ada penerangan beberapa buah lampu minyak yang dipasang warga di luar rumah.
[caption id="attachment_257985" align="aligncenter" width="614" caption="Ons Untoro, pengelola Rumah Budaya Tembi"]
[/caption]
Bulan purnama menjadi saat yang sangat khusus bagi anak-anak karena kami bisa bermain di luar rumah sampai malam hari. Suasana menjadi sangat menyenangkan. Bayangan pohon-pohon besar di halaman yang lapang dan cahaya bulan yang remang-remang sangat ideal bagi anak-anak untuk bermain petak umpet. Kadang anak-anak bermain sampai larut malam, jadi orang tua biasanya menakut-nakuti anak-anak supaya jangan bermain sampai terlalu malam.
[caption id="attachment_257986" align="aligncenter" width="494" caption="Saya membaca puisi, Rio bermain biola (dok. pribadi)"]
[/caption]
Hantu-hantu yang sering disebut orang-orang tua antara lain tuyul yaitu hantu yang berwujud anak kecil suka mencuri uang. Hantu-hantu yang lainnya misalnya adalah gendruwo, hantu berambut gondrong; buto ijo, atau raksasa hijau; peri, hantu perempuan cantik berambut panjang nan wangi.
[caption id="attachment_257987" align="aligncenter" width="614" caption="Umi Kulsum membuka acara dengan membacakan puisi: Legenda Batu Belah (dok. pribadi)"]
[/caption]
Bulan purnama yang penuh hantu itu jaman dulu. Ons Untoro pengelola Rumah Budaya Tembi mengubah citra kehantuan ini menjadi citra sastrawi dengan mengadakan acara Sastra Bulan Purnama. Pada tanggal 26 April yang lalu adalah edisi ke 20 dari acara ini yang ditandai dengan peluncuran buku dan pembacaan puisi-puisi dari buku-buku tersebut. Selain itu acara juga dimeriahkan oleh permainan music kelompok SARKEM. Acaranya meriah karena selain penulis puisi, beberapa penonton diberi kesempatan untuk membaca puisi dari buku-buku yang diluncurkan.
[caption id="attachment_257988" align="aligncenter" width="614" caption="Penyair Riries membacakan karyanya (dok. Pribadi)"]
[/caption]
Ada empat buku kumpulan puisi yang diluncurkan: ‘Ziarah Tanah Jawa’ antologi puisi karya penyair senior Yogyakarta Imam Budhi Santosa; ‘Perempuan dalam Almari’ kumpulan puisi saya; ‘Mencintaimu adalah Takdirmu’ karya penyair Riries Ristiawati; dan ‘Sogokan kepada Tuhan’ kumpulan puisi-puisi penyair dari Kendal, Jawa Tengah. Tampak hadir beberapa teman Kompasianer dari group Canting, Kampret, dan Kompasianer lain.
[caption id="attachment_257989" align="aligncenter" width="614" caption="Kelana, salah satu penyair dari Kendal (dok. Pribadi)"]
[/caption]
Untungnya di desa Tembi sudah ada listrik jadi suasana terang benderang. Kalau suasana seperti pedesaan jaman saya kecil dulu, membaca puisi di bawah terang bulan tentu akan sangat indah tetapi bisa jadi para pembaca puisi dikira hantu. Yang berambut gondrong bisa dikira gendruwo, yang cantik dikira peri, yang masih kecil dikira tuyul, dan saya yang berbadan tambun ini bisa dikira buto ijo …
[caption id="attachment_257991" align="aligncenter" width="614" caption="Kelompok musik Sarkem (dok. pribadi)"]
[/caption] [caption id="attachment_257992" align="aligncenter" width="614" caption="Cantingers dan Kampretos"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H