Lihat ke Halaman Asli

Ouda Saija

TERVERIFIKASI

Seniman

Pahit Pesta Pendidikan

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_109974" align="alignleft" width="240" caption="Dalam marah membungkus batu. (dok. pribadi)"][/caption]

Kelas tiga SMP, hari terakhir di sekolah. Acaranya adalah kado silang. Setiap siswa harus membawa makanan yang dibungkus rapi seperti kado. Pada saatnya bungkusan tersebut akan ditukar dengan seorang teman, itu mengapa disebut kado silang.

Pagi sebelum berangkat aku pamit ibu. Aku tatap matanya dan dia tatap mataku. Dia tahu arti tatapan mataku adalah harapan untuk mendapat uang saku. Dan aku tahu tatapan mata ibuku adalah dia tak bisa memenuhi harapanku.

Aku tulis sebait puisi tentang indah pahitnya perpisahan, juga tentang getirnya kado silang. Aku masukkan dalam sebuah kotak dan aku bungkus dengan kertas kado bekas. Dengan was-was aku membaur dengan semua siswa, mengumpulkan kado silang pada meja yang tersedia.

Guru lalu mengacak semua bingkisan dan membagikan kembali kepada semua siswa. Yang mendapat bikisannya sendiri boleh menukarkan lagi. Aku berharap aku mendapatkan bingkisanku sendiri. Semua riang, riuh dan gembira.

Tiba-tiba seorang anak maju dan melapor kepada guru-guru bahwa dia mendapat bingkisan yang berisi secuil batu. Pak G marah besar, segera tertangkaplah si J yang berandal. Jauh dalam lubuk hatiku aku tahu, si J hanya seperti aku, tak punya uang untuk membeli sesuatu. Dalam marahnya dia membungkus batu, dalam marahku aku membungkus sebait puisi.

Aku gemetar berdebar-debar. Bagai pencopet yang terkepung di sudut pasar, menunggu tertangkap dan dihajar hakimi massa.

Tiba-tiba aku melihat bingkisanku yang kubungkus kertas kado bekas pagi tadi. Tamatlah riwayatku pikirku. Gadis berkepang dua itu perlahan menoleh padaku. Ia memegangi puisiku. Matanya yang bulat mencecap rasa pahit puisiku. Bibirnya membentuk sebaris kata: “thank you.”

Ternyata aku mendapatkan bingkisannya. Sebuah donat berbalut gula, terlalu manis hingga aku tak kuasa menggigitnya. Aku telah belajar pahit dan manis tetapi lulus dengan mati rasa.

***

(cuilan catatan pahit manis pendidikan)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline