Lihat ke Halaman Asli

Ouda Saija

TERVERIFIKASI

Seniman

Gila dan Biji Mata

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_67300" align="alignleft" width="240" caption="jendela jiwa (dok. pribadi)"][/caption]

“Tentang gila dan biji mata, itu pokok bahasan kuliah hari ini.” Seorang dosen yang cukup muda mengawali kuliahnya. Cukup muda karena sebenarnya usianya sudah hampir 40an, tetapi karena penampilannya yang agak kasual cenderung ke awut-awutan dia jadi nampak lebih muda dari usianya. Tak jarang orang mengira dia berusia 30an.

Sesudah meletakkan setumpuk buku di mejanya dia melompat duduk di atas meja, bukan di kursi. Kursinya ditarik dengan kakinya, lalu kakinya diparkir di situ.

“Siapa yang gila?” tanyanya. Kelas mendadak sunyi. Disapukannya pandangannya. Satu per satu mahasiswanya yang berjumlah 40an orang diajak beradu pandang. Ditelitinya satu-satu, biji mata per biji mata. Dia sedang mencari jawaban atas pertanyaannya. “Siapa … yang … gila?” dia mengulangi pertanyaannya, lebih pelan dan lebih jelas terartikulasi.

Posisi tempat duduk di kelas menjadi semacam konvensi, sebuah kesepakatan yang telah diamini. Yang merasa LEBIH akan duduk di depan. Ada yang merasa LEBIH pandai, ada yang merasa LEBIH memahami kuliah, ada yang merasa LEBIH cantik atau tampan, ada yang merasa LEBIH kaya, ada yang merasa LEBIH dicintai dosennya, ada yang merasa LEBIH muda, pokoknya yang merasa LEBIH. Entah apapun kelebihannya.

Tetapi rupanya tak ada yang bisa menjawab pertanyaan dosennya yang sederhana. Jadi tak ada yang merasa LEBIH GILA.

Satu per satu ditatapinya biji mata-biji mata mahasiswa yang duduk di barisan depan. Dilahapnya seperti makan sup kambing Jakarta.

“Kalian tahukan sup kambing Jakarta? Sup yang isinya berbagai bagian dari kambing: kepala, kaki, dan jeroan. Mata adalah yang paling nikmat disantap. Mata kambing, bagian luarnya kenyal enak seperti tulang muda, dan bagian dalamnya ada biji mata, warnanya putih karena telah direbus, agak keras tetapi rasanya gurih tak terkira.”

“Mata adalah jendela jiwa, mengunyah biji mata, biji mata kambing dalam sup kambing Jakarta, kau akan dapat memahami jiwa kambing yang matanya sedang kau makan.” Begitu jelas dosen yang sedang mengajar topik tentang ‘gila dan biji mata’. Satu per satu dikunyahnya biji mata mahasiswanya. Gurih tak terkira.

“Bagi yang belum pernah makan sup kambing Jakarta, silahkan nanti mencoba. Ada dua di Jalan Cik Ditiro, satu di ujung utara, satu di ujung selatan. Ada beberapa di depan Bethesda. Agak mahal harganya untuk mahasiswa seperti kalian. Tapi layak coba kalau kalian ingin memahami jiwa dan biji mata. Coba kunyah, rasakan, dan terka, kira-kira seperti apa kepribadian kambing yang matanya sedang kau makan.” Jelasnya dengan perlahan sambil tetap menyantap biji mata para mahasiswa.

Konvensi yang telah diamini pula bahwa yang duduk di belakang adalah para mahasiswa yang merasa KURANG. Ada yang merasa KURANG pandai, KURANG siap, KURANG cantik, KURANG tampan, KURANG diperhatikan dosennya, dan kurang-kurang yang lainnya. Dilahapnya pula semua biji mata mahasiswa yang merasa kurang. Tak kalah gurihnya.

“Nah … setelah saya perhatikan satu persatu saya dapat menjawab pertanyaan saya tadi: apakah ada yang gila. Kesimpulan saya adalah, tidak ada yang gila.” Senyumpun mengembang di wajah-wajah mahasiswa yang mulanya ketakutan.

“Sekarang pertanyaan yang kedua. Apa hubungan antara biji mata dan gila?” Tanya dosen itu lagi.

Dia sapukan pandangannya ke kelas. Mahasiswa yang duduk di depan, semua yang merasa lebih, menyambut tatapan sang dosen. Ada tatapan yang penuh percaya diri, ada tatapan yang cinta diri dan merasa sedang dikagumi oleh dosennya, ada tatapan yang masih sedikit mencari-cari, dan ada tatapan yang tak mengerti tetapi berani.

Sampai deret belakang, deretan para mahasiswa yang merasa kurang, sapuan pandangan dosen itu mendapat resistensi, semua menghindari. Ada yang sibuk membalik-balik buku, ada sibuk yang mencari sesuatu, ada yang pura-pura berdiskusi, dan ada yang cuek saja membuang pandang.

Seseorang yang duduk di tengah agak depan matanya berbinar memandang dosennya meskipun tidak tunjuk jari dosennya tahu kalau dia mau mencoba menjawab. Maka dipersilahkan.

“Seperti yang bapak katakan tadi ada pepatah yang mengatakan bahwa mata adalah jendela jiwa. Maka kita dapat mempelajari keadaan kejiwaan seseorang dengan melihat biji matanya. Kita bahkan bisa menilai tingkat kewarasan seseorang dengan memeriksa matanya.” Jawab mahasiswa dari deret depan tengah tersebut dengan penuh keyakinan.

“Terima kasih. Dapat saya simpulkan setelah mengamati biji mata kalian satu per satu bahwa kalian tidak GILA tetapi kalian BELUM MEMBACA. Saya akan ke kantor saya, silakan anda semua membaca. Saya akan kembali satu jam lagi. Terima kasih.”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline