Lihat ke Halaman Asli

Ouda Saija

TERVERIFIKASI

Seniman

Para Penunggu Lava

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_69599" align="alignleft" width="199" caption="Pemberi Batu dan Abu"][/caption]

Subuh telah luruh. Langit masih gelap, udara masih dingin. Bulan bergantung, tersangkut di pohon cengkeh. Malas meninggalkan langit. Anak kecil berkerudung sarung mengorek-korek sisa bediang semalam. Dengan sisa arang dia mencoba menggambar rembulan pada sebilah papan kayu yang kasar. Ayam jantan terus menerus berkokok bersahutan memanggili matahari.

Kelelawar dan kalong meninggalkan dahan-dahan pohon klengkeng, terbang mencari gua-gua di tebing karang. Burung hantu mengepak pergi, bersembunyi di rimbun gelap atau di lubang-lubang pohonan.

Dalam keremangan dingin pagi, lelaki-lelaki bagai sosok tentara-tentara hantu. Berjalan berkelebat cepat diantara rindang perdu tanaman kopi. Langkah-langkah berderap mantap. Mereka membawa cangkul, parang, linggis dan palu. Terobosan mereka di perdu bunga kopi, menjatuhkan embun-embun dari ujung daun dan merebakkan harum bunga kopi.

Para wanita berjalan ringan namun trengginas bagai Srikandi yang menari. Kain disingkap setengah betis, selendang batik diselempangkan melingkar pundak, sabit kecil yang setajam pisau pengiris dijinjing ringan.

Mereka mendaki sampai kendit Merapi, batas seperti selendang antara padang rumputan dan padang batuan. Di sana mereka ganas bagai samurai wanita, membabat pangkas rumput gajah dan rumput apa saja lalu menggulung dalam selendang mereka. Rambanpun tak luput dari babatan sabit kecil mereka.

Sebelum matahari sempat merekah, merekapun telah turun gunung setengah berlari, dengan rumput menggunung di punggung. Sapi-sapi disarapi, lalu mereka mengurung diri di dapur, menjerang air dan menanak nasi.

Para lelaki, sosok tentara-tentara hantu telah turun ke kali. Keganasan mereka tak berperi. Tangan dan kaki mereka kokoh dan kasar. Sebelum matahari sempat menjadi garang, mereka telah garang dahulu. Satu per satu, dihajarnya batu-batu hitam keras muntahan merapi. Dicongkel dengan linggis, dihantam dengan godam, lalu dipecah dengan martil dan palu.

(cuilan catatan pagi lereng Merapi)

sumber gambar




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline