Para dokter, perawat, penunjang medis, petugas administrasi, pegawai kebersihanan, satpam dan pihak manajemen rumah sakit disampaikan terima kasih karena selama kurang lebih sebulanan ini berjibaku untuk menyelamatkan para pasien pasien positif Covid 19. Mereka adalah garda terdepan dalam penanganan ini. Bahkan diantara mereka ada juga, yang berbalik menjadi orang yang harus dirawat dan diselamatkan.
Cerita-cerita mengenai mereka pun ramai di media sosial. Bahkan ada yang mengancam untuk tidak melayani kalau kebutuhan standar pelayanan mereka tidak dipenuhi. Dan kemudian dibantah sendiri oleh organisasi mereka.
Namanya serangan, jelas tidak ada yang siap walau sudah disiapkan dengan sebaik mungkin. Kalau ada yang menilai para pengambil kebijakan dianggap tidak siap bahkan begitu banyak meme yang mengkritik mereka sebenarnya adalah tindakan untuk tidak membuat panik masyarakat. Jelas mereka bersiap. Inilah tarik menarik kebijakan.
Mari belajar dari serangan Jepang ke Pearl Harbour 7 Desember 1941 dan Serangan Umum 1 Maret 1949 oleh para perjuang republik ini ke Pasukan Belanda di Yogyakarta. Mari belajar dari lockdown di India mulai dari 24 Maret 2020 hingga 21 hari ke depan karena serangan sporadis Covid 19.
Dua serangan yang tarik menarik dengan perang dunia kedua itu terencana matang, lah kalau lockdown di India juga terencana tetapi efeknya yang tidak diharapkan. Kekacauan terjadi karena penutupan pusat-pusat industri dan juga pembatasan transportasi serta penutupan beberapa negara bagian (1).
Setiap kebijakan itu pasti menimbulkan efek. Kalau beli obat, sebelum minum biasanya diminta untuk membaca efek sampingnya. Di Jakarta sendiri untuk mencegah Covid 19 pernah diambil kebijakan membatasi transportasi umum mulai dari kereta sampai bus Transjakarta. Akibatnya mudah ditebak antrian mengular. Alih-alih menjaga jarak agar tidak menularkan antar warga, jadinya malah berdesakan berjarak tipis sekali. Gubernur DKI Jakarta menyebutnya sebagai efek kejut agar warga waspada pada Covid 19.
Awal-awal Covid 19 masuk Indonesia, orang saja sudah panik. Bahkan ada yang main borong bahan makanan. Sekarang setelah sebulanan orang sekarang sudah mulai agak tenang, hanya yang habis adalah pemutih baju, pembersih lantai, alkohol plus masker. Masih agak langka adalah alat perlindungan mulai dari masker N95, baju hingga mask shield.
Kondisi ini jelaslah membuat para pengambil kebijakan publik tersudut dan disudutkan. Sekali lagi, dikritik tidak siap. Malah ada gerakan menekan untuk lockdown. Dianggap lamban.
Gerakan menjaga jarak satu sama lain agar tidak menularkan Covid 19 saja masih banyak dilanggar. Padahal televisi siarannya hampir mengenai Covid 19 melulu. Begitupun dengan WA grup berseliweran hampir tanpa jeda.
Pertempuran sudah jelas. Daya imun tubuh manusia bertarung melawan Covid 19. Kalau ada pertempuran sisa Pileg dan Pilpres wajar. Kalau ada pertempuran para pimpinan partai politik yang beroposisi dengan pemerintah juga wajar. Ini negara demokrasi. Kalau tidak bersuara asal beda ataupun menguliti pemerintah, bukan demokrasi namanya.
Lah kalau hoax soal Covid 19, nah ini hukum yang bicara. Kalau kebencian yang keluar, ya hukum juga yang menetapkannya. Jadi ya kalem saja.