Lihat ke Halaman Asli

OtnasusidE

TERVERIFIKASI

Petani

Pariwisata Pagar Alam di Ujung Tanduk

Diperbarui: 30 Desember 2019   10:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kota Pagaralam dilihat dari Tugu Rimau I Foto: OtnasusidE

Sekitar 48 jam lagi, tahun 2019 akan tertinggal disongsong oleh tahun baru 2020. Bila tahun sebelumnya kota kami, Pagaralam sudah penuh dengan para pelancong dari berbagai daerah di Indonesia ataupun para perantau yang balik untuk libur tahun baru, tetapi kini kota seakan biasa saja.

Bertubi kota yang dijuluki kepingan surga di Bukit Barisan Sumatra dicoba. Mulai dari Si Rimau yang turun gunung hingga kecelakaan bus di Liku Lematang yang merengut lebih dari 30 jiwa.

Bohong kalau kedua hal itu tidak mempengaruhi bawah sadar masyarakat yang ingin datang, berlibur di Pagaralam. Teman-taman yang datang dari berbagai daerah di Sumatra Selatan awal Desember lalu pun mengelak di ajak ke atas karena Si Rimau turun gunung.

Belum lagi kecelakaan bus di Liku Lematang yang diberitakan secara nasional baik cetak maupun elektronik, media arus utama juga memberikan hook keras ke pariwisata Pagaralam. Ditambah straight dan satu-dua serta uppercut melalui media sosial. Jelas roboh pariwisata Pagaralam. Siapa yang kuat dihajar seperti itu?

Adakah yang menolong atau paling tidak berusaha memperbaiki keadaan? Sampai saat ini belum ada gerak yang signifikan. Kalau cuma bilang aman. Aku pun sudah menuliskannya kalau Si Rimau itu hanya bergerak di kawasan hutan lindung. Silahkan ditengok.

Haruskah para pelaku usaha hotel dan penginapan, ojek dan makanan, pedagang buah dan pelaku kulineran lempar handuk? Optimisme tetap harus dibangun. Kalau pesimisme yang dinarasikan habislah. Jangan lempar handuk. Semangat!

Lah, rantai geraknya itu panjang. Petani salak, petani jeruk, petani alpukat, pedagang ayam, pedagang ikan. Jangan lupa mamang ojek dan Angdes.

Jadi pengusaha itu, menghidupi. Lah, kalau nyerah bagaimana dengan pendukungnya. Mati kotanya. Alias ya, biasa saja.

Lalu bagaimana dengan para pengambil kebijakan alias pemimpin yang duduk dengan banyak fasilitas? Bagaimana dengan para wakil rakyat? Hayo dibuka! Berapa duit makannya? Berapa duit transportasi dan komunikasinya? Berapa duit dinas luarnya? Berapa duit resesnya?

Dinas instansi terkait bagaimana? Dinas instansi di tingkat yang agak lebih tinggi bagaimana?

Apakah ini yang namanya kota autopilot? Tidak ada pilot di kokpit. Tidak ada tujuan. Awas habis bahan bakar alias habis avtur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline