Ketika jeritannya menggema. Semua orang bergidik. Ketika rumahnya dirusak. Dia cuma bisa menyingkir. Tidak melawan sedikitpun.
Ketika anaknya terjerat lapun dan mati. Semua orang berebut untuk mengulitinya. Mengambil kulit. Mengambil kumisnya. Mengambil taring. Mengambil apa yang bisa diambil untuk menunjukkan pada sesama manusia kalau mereka berada di rantai makanan teratas.
Ketika dia menuntut keadilan tak ada yang peduli. Justru dia disalahkan. Padahal dia ada di rumahnya yang secara undang-undang dilindungi. Apa daya kekuatan media sosial dan media menyudutkannya.
Dia ada di wilayahnya. Dia tidak merambah kebun. Justru manusialah yang merambah dan mengobrak-abrik rumahnya. Menjarah makanannya. Sapi liar. Kambing liar. Kijang sudah habis dijerat dijual secara diam-diam.
Adakah yang jujur menuliskannya? Lokasi kejadian. Apapun konflik ini akan berlanjut kecuali dia punah. Tinggal anak cucu mendengar cerita.
Ini cerita jujur ketika nenek moyang ingin membuka lahan. Maka tanda-tanda alam dijadikan patokan. Nenek moyang akan naik ke bukit.
Bila melihat ular ketika sedang membuka lahan maka mereka akan turun. Melihat sarang si rimau dia akan turun. Terus turun hingga tidak ada tanda kepemilikan wilayah oleh binatang.
Di situlah kearifan lokal nenek moyang dulu. Tidak rakus. Justru mereka berdampingan dengan hewan-hewan, bahkan yang terbuas sekalipun.
Bukit Barisan Sumatra sebagian besar adalah hutan lindung yang terus dirambah oleh manusia. Dengan berbagai cara manusia mendesak sang penunggu hingga ke titik nadir. Manusia kini sudah berubah total. Beda 360 derajat dengan nenek moyang yang hidup penuh dengan kearifan dengan alam.
Ini juga cerita jujur di Rimba Candi. Seorang warga yang membuka lahan. Dalam tiga hari gelisah seperti ada yang mengawasi. Warga lalu berdoa agar kegelisahannya hilang dengan meminta ditunjukkan siapa yang menjadi penunggu tempat yang dibersihkannya. Tak menunggu lama ketika pagi sedang membersihkan lahan, sang penunggu tempat, si rimau keluar.
Warga terkejut. Kaki berat. Mulut terkunci. Ketika si rimau mendekat tubuh terjengkang ke belakang. Ketika makin mendekat, warga hanya meminta maaf telah mengganggu tempat tinggalnya. Saksi kejadian ada karena warga yang membuka lahan itu bersama tiga saudaranya.