Indonesia itu punya sumber daya manusia (SDM) yang unggul. Percayalah. Jika tidak percaya maka sekali-kali jalan-jalanlah ke daerah tertinggal, terdepan dan terluar. Pada saat itulah maka kita akan melihat kreativitas manusia Indonesia yang tanpa batas. Mereka adalah SDM unggul.
Mereka belajar pada alam. Mereka punya keinginan. Mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mulai dari pangan, sandang dan pangan. Listrik mereka olah dari tenaga air. Hidup yang serba sederhana ini membuat mereka berpkir untuk memanfaatkan apapun yang ada di sekitar tempat tinggal mereka.
Lihatlah anak-anak yang menyeberangi sungai dengan perahu untuk belajar. Lihatlah mereka yang bergelantungan di kawat-kawat untuk belajar pelajaran yang dasar. Lihatlah anak-anak yang turun naik perbukitan hanya untuk sekolah. Mereka adalah anak-anak yang pantang menyerah, tak takut dengan rintangan alam. Mereka justru menikmatinya, dinginnya kalau hujan, panasnya kala mentari menyengat kulit. Mereka adalah sumber daya manusia yang tak terbatas.
Kalau sumber daya manusia yang dimaksudkan adalah anak-anak yang bersekolah berfasilitas perpustakaan, memiliki laboratorium biologi, fisika dan kimia maka itu adalah mimpi. Mimpi semimpi-mimpinya.
Apapun kalau anak-anak kami yang berada di Perbukitan Sumatra untuk bertarung ujian ilmu pengetahuan dasar dengan anak-anak yang tinggal di kota dengan fasilitas perpustakaan, laboratorium lengkap plus dukungan keuangan keluarga yang mumpuni maka anak-anak kami jelas kalah. Kami hanya punya semangat. Kami punya kemauan yang keras.
Jadi berpikirlah wahai para pengambil kebijaksanaan di atas. Lihatlah dengan mata elang. Jangan melihat dengan teropong. Lihatlah dari dekat. Jangan melihat laporan. Lihatlah senyatanya. Beranilah mengambil kebijakan, terobosan untuk bangsa yang besar ini.
Jadi ingat film Three Idiots, ketika Rancho diminta untuk menjelaskan definisi mesin. Rancho tidak menjelaskan secara text book tetapi Rancho menjelaskannya dalam bentuk penjelasan yang sangat sederhana. Mesin adalah alat atau sesuatu untuk memudahkan manusia seperti ritsleting yang naik dan turun. Semua tertawa boleh. Ada yang tersinggung boleh. Tapi itulah kenyataan.
Seorang ibu terkejut tahu anaknya yang dulu gemar matematika bahkan pernah juara matematika ketika ada lomba matematika di tingkat SD kemudian malah membenci matematika. Setelah belasan tahun baru terkuak ternyata ketika SMP si anak ini kesal, guru matematikanya hanya memperhatikan satu orang di kelasnya.
Ada anak yang ceroboh dan kocak. Dibuat oleh bapaknya merdeka semerdekanya tetapi sekolah masih belum bisa menerima sepenuhnya si anak. Si anak yang gemar matematika sudah diwanti-wanti waktu ujian akhir agar hati-hati dan memeriksa lagi kertas jawaban sebelum mengumpulkannya. Apa mau dikata si bocah ternyata memang masih bocah walau tubuhnya sudah hampir sama dengan bapaknya. Nilai matematikanya ternyata kalah dari teman sekelasnya. Justru Bahasa Indonesia yang menjadi momok siswa termasuk dirinya malah mendapatkan nilai tertinggi di sekolahnya. Ketika ketemuan sang bapak justru yang nangis karena ketika ujian nasional sang bapak tidak ada di dekatnya.
Jangan bunuh anak-anak kita dengan hanya memperhatikan anak yang kita sukai. Jadilah ibu ataupun bapak bagi seluruh anak-anak. Mereka adalah karakter yang masih polos dan belum berani protes karena sistem pendidikan.