Ditahun 1970-an, lebaran adalah momen yang paling ditunggu di kampung kami. Bagi anak-anak kecil lebaran ya lebar-lebaran beneran. Baik yang merayakan maupun yang tidak merayakan semua ikut serta.
Baju baru, celana baru, sandal baru. Pokoknya serba baru. Teman yang tidak merayakan pun memakai baju baru, celana baru dan sandal baru. Jadi semuanya merayakan. Bahkan keluarga yang tidak merayakan lebaran, masak ketupat dan juga menghidangkan kue di meja ruang tamunya.
Acara TVRI jadul ada Papiko dan ada juga Ketupat Lebaran. Acaranya keren dan TVRI menjadi satu-satunya saluran TV yang dipantengin usai takbiran keliling kampung. Takbiran di kampung itu mulai dari jalan kampung hingga ke lorong-lorong kampung. Wak wak wak. Jadi tahu kan kalau penulisnya sudah tua.
Di Kampung anak-anak biasanya akan menyerbu rumah yang lebaran tahun lalu membagikan uang. Biarpun ada ketupat dan opor ayam, rendang dan juga ayam kecap serta kerupuk plus pempek tetapi yang diincar anak-anak dulu tetap uang.
Rumah itu pasti akan diserbu terlebih dulu. Baru menyerbu rumah yang lain.
Rumah Mbah Ijo yang kebetulan dekat Musholla diserbu terlebih dulu. Uang kertas merah seratusan pun dibagikan pada setiap anak kecil yang datang. Disuruh makan tak mau. Disuruh minum tetap tak mau.
Ditanya mau apa dijawab langsung mau duit. Semuapun tertawa. Dan dari kantongnya pun keluar uang seratusan merah kertas. Dan antrilah anak-anak menerima tuh uang sambil salim.
Rumah kedua yang diserbu adalah rumah Thelma. Di rumah ini yang merayakan lebaran hanya Bapaknya Thelma, Ibu Thelma, Thelma dan Oma walau Kristen tetap merayakan lebaran. Anak-anak lebih senang dengan Ibu Thelma karena walau ada anak datang dua kali tetap diberi uang. Kalau pas Oma yang membagikan, akan tegas, kalau yang sudah nggak akan diberi lagi. Biasanya kami semua tertawa dengan pernyataan Oma tersebut.
Rumah lain yang dikunjungi kadang ada yang membagikan uang tetapi kebanyakan tidak. Anak-anak kalau ketemu di jalan berbagi info kalau rumah A tadi membagikan uang sambil menunjukkan hasil pembagian. Namanya, rezeki ketika didatangi ternyata tuan rumah tak membagikan lagi. Biasanya anak-anak makan kue sedikit dan langsung salim pulang.
Sekarang apakah anak-anak tetap mengincar duit kalau mengunjungi rumah-rumah di kampung? Bisa jadi ya, kalau yang dikunjungi adalah rumah masih kerabat. Kalau yang bukan kerabat jarang membagikan duit. Nilainya jelas tidak seratus perak lagi.