Perempuan Pertama
Apa yang tidak ada padanya. Cantik memiliki penghasilan tetap. Memiliki asuransi kesehatan. Memiliki rumah. Memiliki motor dan mobil. Bodi sehat dan terawat serta terlatih.
Secara umum perempuan ini ada di atas rata-rata. Pendidikannya pun perguruan tinggi ternama di Jawa.
Ramah dan juga jelas menjadi tempat kaum lelaki untuk cuci mata. Tak perlu obat mata kalau kelilipan, cukup arahkan pandangan mata ke si perempuan maka mata perih akan sembuh dengan sendirinya.
Perempuan ini setiap hari menjelajah jalan menikung, jalan di kebun, jalan di persawahan, jalan yang menjadi pemandangan khas Bukit Barisan Sumatra. Seminggu lima kali dilakoni dengan senyum. Kalau terpaksa menginap di tempat tugas karena sesuatu hal, tetap dilakoni dengan cinta.
Semenjak berkenalan, tak pernah berbicara mengenai keluarga, agama ataupun bertanya mengenai hal-hal yang bersifat pribadi. Semua yang dibicarakan lebih banyak ke hal-hal yang berkutatan dengan pekerjaan di lapangan.
Satu waktu di temaram tepian Sungai Lematang. Perempuan ini mengajak bertemu. Pertemuan sempat tertunda beberapa kali karena diriku harus ikut ke kalangan menjual ayam dan telur ayam.
Perempuan ini datang dengan pakaian kasual. Tubuhnya yang terlatih terlihat jelas setelah jaketnya di lepas, tinggal kaos polo saja yang membalut tubuh perempuan yang masih menjomblo ini --gosip yang beredar di kalangan lelaki.
Daku terkejut ketika dari jaketnya dikeluarkan sekotak rokok mentol. Tangannya yang lentik dengan lincah memantikkan api dari pemantik. Satu kali sedotan dalam, dan asap berpola lingkaran keluar dari mulutnya.
Perempuan ini ternyata memiliki rahasia yang tak kuketahui. Aku tak menyangka kalau dia perokok dan pandai merokok. Aku sebut pandai karena dia begitu menikmati setiap tarikan sedotan dari rokok dan mengeluarkannya dengan aneka bentuk.
Seorang perempuan menawarkan aneka kopi dan makanan di pinggiran lematang. Dipesanlah dua gelas, satu kopi hitam dan satu cappucino serta satu piring pisang goreng keju. Daku hanya memesan kopi espresso.