Sukses. Pengobatan dan sunatan masal masuk tabloid kampus. Empat foto pun menjadi pendukung. Satu foto yang bikin senyum adalah ketika seorang anak lelaki yang berlari dikejar oleh ayahnya dan koas lelaki karena takut disunat.
Sang pembawa berita datang ke fakultas, ketika aku sedang duduk di bawah pohon beringin. "Salam dari Mesh. Besok kami akan mengadakan syukuran di Restoran Apung Musi. Bila sempat datanglah. Kami cuma dua jam di sana dari jam 11."
Malamnya aku gelisah. Aku harus belajar tetapi juga kepala terbelah dengan Prameshwari yang cuma memberikan waktu dua jam. Ujian jelang siang mengenai Sistem Sosial Indonesia membuatku malam itu harus belajar efektif dan efisien agar besok bisa menyelesaikan ujian cepat dan akurat.
Selesai sudah. Aku tak memikirkan hasilnya. Casioku menunjukkan 12.11. Artinya aku hanya punya waktu 49 menit untuk sampai di Restoran Apung Musi di Benteng Kuto Besak, tepian Sungai Musi.
Sekali lagi RX King Cobra milik Gung menjadi moda transportasi pilihan yang tak terelakkan. Entah kenapa tiba-tiba stang motor RX King itu ketika menuruni Padang Selasa membelok ke Kemang Manis dan keluar ke PDAM menembus ke Simpang Tangga Buntung dan langsung menelusuri daerah Suro dan sudah di depan Restoran Apung Musi, 7 menit. Gila !
Aku pun masuk dan mencari-cari Prameshwari. Si pembawa berita terlihat keluar dari kapal. Aku pun berjalan ke arahnya. "Dia ada di haluan. Kami pulang dulu ya, besok akan ke daerah lagi," katanya sambil lalu.
Akupun masuk ke kapal, di haluan kulihat seorang perempuan berkebaya hitam memandang ke arah Jembatan Ampera yang menjadi Land Mark Kota Palembang. Sebuah jembatan yang menghubungkan daerah Ulu dan Ilir.
Angin sungai yang lembut menerpa rambut hitamnya yang tergerai. Matanya lurus ke depan memandang Kampung Kapitan*) dan rumah-rumah rakit yang berayun di pinggiran Sungai Musi. Lalu-lalangnya motor ketek.**) Denyut kehidupan sungai yang tak pernah berhenti. Dirinya tak hirau dengan kulitnya yang mungkin akan tanning terpapar mentari. Mesh seakan-akan menyerap masa lalu dari Sungai Musi.
Akupun tak berani mengganggunya. Aku justru sangat menikmati panorama Prameshwari di latar Jembatan Ampera. Sebuah pemandangan indah, dengan lekuk tubuhnya, songketnya serta tangannya.
Satu pertanyaanku dalam hati adalah apakah dia berdandan hanya untukku atau memang khusus untuk syukuran kegiatan pengobatan gratis dan sunatan massal? Si pembawa berita dan teman-temannya yang sudah pulang hanya mengenakan pakaian nonformal.
Dengan mengumpulkan keberanian karena jantungku sepertinya tak bisa diajak kompromi untuk tenang, aku mendekati Prameshwari.