Lihat ke Halaman Asli

OtnasusidE

TERVERIFIKASI

Petani

[Selamat Ulang Tahun ke-51 Kompas] Loper Koran yang Mengubah Diriku

Diperbarui: 28 Juni 2016   21:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompas satu-satunya koran nasional yang datang pagi di Lahat

Dua kakak beradik itu selalu menyambut kami yang akan masuk ke ruang kuliah. Mereka selalu memegang koran lokal dan koran nasional. Mereka sudah tahu kakak mana yang akan membeli korannya. Mana kakak-kakak yang cuma numpang baca saja. Idak beli.

Namanya Irfan dan Hamid. Irfan sang kakak dan Hamid adiknya. Hamid ketika kami masih semester II masih mengenakan seragam sekolah SD. “Masuk siang jam 10. Kalau pagi jualan koran dulu. Tuk nambah-nambah hidup,” ujar Hamid ketika ditanya oleh Mansyah temanku.

Dua kakak beradik itu mengelilingi fakultas-fakultas yang ada di Bukit Besar. Lokasi kuliah yang nyaman karena tanahnya berundak dan masih memiliki pohon-pohon besar. Entah setiap ditanya sudah ke fakultas mana saja. Jawabannya selalu sama, “mulai dari sini” kata Irfan.

Kami berlima yang memang sering dijadikan sasaran beli untuk koran yang dibawa oleh dua kakak beradik yang berprofesi loper ini. Koran  Sriwijaya Post  dan  Kompas  yang biasa dibeli. Belinya pun patungan. Siapa yang lagi kaya alias dapat kiriman lebih dari orangtua tak perlu dikomando biasanya menyumbang paling besar. Aku, Ratno, Prastya, Yono, dan Mansyah bersahabat sejak masuk kuliah.

Biasanya kalau hari Jumat kami beli dua atau tiga Koran  Kompas  karena ada sisipan Tabloid  Bola. Koran Kompas Minggu biasanya  diamankan   oleh keduanya untuk dibawa hari Senin untuk kami baca. Atau kami beli sendiri untuk membunuh waktu di kamar kos di hari Minggu. Di Kompas kami menunggu ulasan bola dari Sindhunata.

Semester III kami terkejut. Walaupun Irfan dan Hamid masih tetap berjualan koran tetapi Hamid sudah tidak memakai seragam sekolah lagi. Ratno yang bertanya, “Mid ngapo kau idak sekolah lagi apo. Kalau kelas  tigo  kan  biasonyo  sekolahnyo  pagi,” tanya Ratno. “Berhenti Kak aku, emak dan bapak dak  biso lagi biayai. Kakak  jugo  sebenernyo  sudah  berenti  sekolah SMP,” ungkap Hamid sambil memandangi Irfan.

Aku, Ratno, Prastya, Yono dan Mansyah cuma bisa tercenung. Bingung mau membantu nggak ada duit. Bisanya cuma jadi pelanggan korannya saja.

Kami sendiri terkadang untuk makan kalau lagi apes  ya  harus berpandai-pandai. Pernah aku cuma ada uang seribu perak yang akhirnya kubelikan martabak manis dan bisa bertahan selama 36 jam. He he he. Mansyah lebih gila lagi. “Malam ini kita cari belut di got. Laper ini. Nasi ada. Sayurnya kangkung rawa itulah. Rebus. Terus ada cabe  ama  garam jadilah,” jelasnya. Mancing belutlah kami malam-malam. Dan langsung dibakar saja.  Celeguk. Kalau  kepepet  lapar semua enaklah.

Yono malah  edan. Makan nasi di kawasan kampus. Ambil tempe dan tahu empat biji. Ngakunya dua, duanya lagi disembunyikan ditumpukan nasi. Tapi Yono jujur kok. Di kamarnya ada catatan berapa kali dia makan seperti itu. “Aku bayar kalau sudah  nak  tamat,” katanya. Kami pun cuma ngakak saja.

Semester IV lagi-lagi kami terkejut karena Hamid sekarang jualan koran sendirian. Kakaknya tidak ikut lagi jualan. “Kakak matanya sudah kabur nian. Susah melihat. Jadi di rumah  bae,” cerita Hamid. Lagi-lagi kami pun terperangah.

“Ya Allah cobaan apa yang engkau berikan pada keluarga ini. Mereka orang kecil ya Allah. Untuk sekolah saja mereka tak mampu. Apalagi kalau untuk operasi mata. Berilah mereka kekuatan dan kesabaran ya Allah,” doaku ketika usai sholat Dzuhur di masjid kampus.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline