Foto : Sekolah Kartini di Bogor 1915
Buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" sudah menjadi karya klasik sehingga Proyek Guttenberg menaruh di lamannya sebagai buku yang sudah habis hak ciptanya menurut hukum Amerika Serikat.
Raden Ajeng Kartini menulis kisah hidupnya dengan bahasa yang elok, hidup, terus terang sehingga seperti keluar dari hatinya yang dalam, galau dan ingin lepas bebas. Mimpinya tinggi di balik tembok karesidenan Jepara. Sebagai seorang perempuan ia sudah menyadari ada perbedaan perlakuan terhadap jender. Adat istiadat membelenggu dengan kuat sebagai tradisi kuno yang sangat sulit ditinggalkan tetapi pada masa itu mulai berhadapan langsung dengan arus modern yang dibawa oleh pemerintah kolonial.
Perempuan dipandang setingkat lebih rendah derajatnya. Di Belanda sendiri arus kesadaran akan nasib negeri jajahan dan kebangkitan kaum perempuan sedang mendapatkan angin.
Kartini dipingit sejak usia 12 tahun sampai dengan usia 16 tahun sesuai dengan tradisi gadis akil balig Jawa Ningrat pada masa itu. Periode itu disebut Kartini seperti dimasukkan dimasukkan ke dalam sebuah kotak. Meskipun demikian, badan yang dikekang tidak bisa mengekang pikiran yang cerdas.
Pikiran yang Bebas
Pada permulaan surat menyurat dengan sahabatnya di Belanda, Kartini muda sudah berani menyampaikan isi hati apa adanya. Ia mempunyai pandangan tentang perempuan yang dinginkannya.
Japara, 25 Mei, 1899. Saya merindukan berteman dengan "perempuan modern," yang percaya diri, bebas dan yang mengerti seluruh perasaan saya. Mereka yang bahagia, mandiri, berhati ringan serta berhati-hati meniti hidupnya, penuh semangat, hangat, bekerja tidak hanya untuk kepentingan dan kebahagiaan dirinya, tetapi untuk kebaikan kemanusiaan secara umum.
Saya menyala dengan gairah jaman baru yang mendatang dan sejujurnya mengatakan bahwa pikiran-pikiran saya dan perhatian saya bukan dari dunia pribumi, tetapi dari saudara saya yang bermuka pucat yang berjuang untuk maju di dunia Barat nan jauh.
Kartini Berjiwa Pemberontak
Dalam suratnya kepada Stella, ia menceritakan kehidupannya bersama-sama dengan saudara-saudaranya di dalam Kabupaten. Mereka berada dalam lingkungan kabupaten yang luas tetapi dihalangi oleh tembok yang tinggi dan pintu yang terkunci. Meskipun luas dan kebunnya indah, ia merasa terkungkung. Kadang ia merasakan dirinya bodoh, menempelkan tubuhnya ke tembok dan melihat di segala penjuru hanya ada tembok batu yang tinggi dan pintu mengurungnya.