Lihat ke Halaman Asli

Problem Kebenaran: Apakah Kebenaran Itu Sungguh Ada?

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebuah Pemaparan tentang Kebenaran Berdasarkan Pemikiran F Nietzsche

Das Kriterium der Wahrheit lieght in der Steigerung des Machtgefuls” (Nietzsche, Nietzsches Werke XXVI, 45)

PENGANTAR

Bagi Nietzsche, hidup adalah kehendak (untuk) berkuasa, suatu dinamika, realitas yang terus berubah, dan karena terus berubah maka (juga) tak ada kebenaran yang dapat dijadikan pegangan. Kebenaran bagi Nietzsche merupakan fungsi aktivitas; kebenaran adalah sesuatu yang kita kerjakan, bukan sesuatu yang kita temukan atau miliki. Dalam konteks inilah ia mengatakan tak ada kebenaran. Tulisan ini hanya ingin memaparkan bahwa bagi Nietzsche kebenaran yang paling tepat hanyalah kebenaran yang didasarkan pada realitas kehendak (untuk) berkuasa yang terus berubah.

Nietzsche menggambarkan “Kebenaran” sebagai seorang “Wanita”. Wanita yang misterius. Wanita yang perlu dipahami, dikagumi, sekaligus dihormati. Namun, seringkali banyak orang berusaha untuk menelanjanginya. Mereka mencoba mencari dan menangkap bagian yang-terdalam darinya. Wanita begitu menarik. Tak ada kata menyerah untuk berusaha meraih, mendekap, bahkan mencecapinya. Itulah Wanita. Itulah Kebenaran. Ia selalu dikejar-kejar, “bahkan sampai ke ujung dunia pun akan kucari”, itulah kata ribuan bahkan jutaan manusia di muka bumi ini. Di hadapan Wanita, di hadapan Kebenaran, mereka menemukan rasa penasaran yang mencapai puncaknya. Dan pada saat yang sama, mereka merasa tak berdaya. Hingga akhirnya, mereka pun berkata, “Apakah ada Wanita? Apakah ada Kebenaran?”

Kehendak Kuasa

Apa itu kebenaran? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus terlebih dulu masuk ke dalam konsep Nietzsche tentang realitas yang ada. Terhadap pertanyaan apakah yang ada, Nietzsche menjawab: yang ada adalah kehendak (untuk) berkuasa, dan tak ada yang lain. Kehendak (untuk) berkuasa bukanlah suatu prinsip metafisis seperti arkhe dalam pemikiran para filsuf Yunani, atau cogito pada Descartes, juga bukan Roh absolut-nya Hegel. Nietzsche tidak berfikir dalam istilah-istilah substansi dan aksidensi, atau ada dan menjadi. Nietzsche tidak ingin berfikir terlalu jauh sampai ke dunia sebrang karena dengan berfikir terlalu jauh, manusia seringkali membuat dunia fiksi tentang dunia yang lebih nyata dari kenyataan.

Bagi Nietzsche yang ada hanyalah kehendak (untuk) berkuasa. Kehendak (untuk) berkuasa adalah suatu khaos besar dan monumental yang hanya dapat dikarakterisasikan dengan kualitas-kualitas negatif. Kehendak (untuk) berkuasa adalah ambiguitas, kontradiksi, paradoks, dan perubahan terus-menerus.

“Dunia ini adalah kehendak (untuk) berkuasa dan tak ada yang lain! Dan kamu dirimu sendiri juga adalah kehendak kuasa ini dan tak ada yang lain!”

Kriteria kebenaran bagi Nietzsche terletak dalam penambahan kehendak (untuk) berkuasa. Ia menyebut sesuatu benar jikalau sesuatu itu menambah kehendak (untuk) berkuasanya, dan sebaliknya. Dengan demikian, kriteria kebenaran tak bersangkut paut dengan isi logis suatu proposisi. Kebenaran dan kesalahan dari proposisi itu terletak pada derajat pengaruhnya ketika aku menggunakan proposisi itu dalam kebiasaanku.

“Truth is not a property of statements, but a function activity; more specifically, individual activity.”

Paradoks Kebenaran

Jika kita memahami kebenaran sebagai suatu standar objektif yang dapat diterapkan sebagai tolak ukur untuk segala situasi, jelas bukan ini yang dimaksud Nietzsche dengan kebenaran. Sebab, dengan mengatakan kriteria kebenaran terletak dalam peningkatan kehendak (untuk) berkuasa sesungguhnya Nietzsche tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kebenaran meningkatkan kehendak kuasaku atau sejenisnya. Yang ingin dia katakan adalah bahwa kriteria kebenaran adalah suatu fungsi peningkatan kehendak (untuk) berkuasa.

Kebenaran bagi Nietzsche merupakan fungsi aktifitas;sesuatu yang kita kerjakan, dan bukan sesuatu yang kita temukan atau miliki. Dalam konteks inilah ia mengatakan bahwa tak ada kebenaran. Ketika Nietzsche mengatakan tidak ada kebenaran, ia mendapatkan pertanyaan apakah yang kamu katakan (bahwa tak ada kebenaran) itu bukan suatu kebenaran?. Pertanyaan itu ingin menunjukkan pemikiran Nietzsche yang paradoksal. Meski demikian, Nietzsche hanya dapat dimengerti sebagai paradoksal jikalau orang menerapkan standard kebenaran tradisional yang statis. Pertanyaannya kemudian, bukankah Nietzsche mengusulkan suatu kriteria kebenaran yang tak fleksibel, dengan mengatakan bahwa Das Kriterium der Wahrheit lieght in der Steigerung des Machtgefuls? Bukankah dengan ini Nietzsche tidak sedang menciptakan suatu kriteria kebenaran yang tetap juga?

Dengan kriteria itu, sebenarnya Nietzsche ingin mengatakan bahwa ketika kita membuat suatu pernyataan kebenaran, kebenaran ini merupakan suatu turunan dari peningkatan fundamental kekuasaan. Oleh karena itu, kriteria Nietzsche mengenai kebenaran bukanlah kriteria yang tak fleksibel; apa yang ditawarkan kepada kita adalah sebuah ilusi.

“Kebenaran-kebenaran adalah ilusi-ilusi yang telah dilupakan bahwa mereka itu ilusi, metaphor-metafor usang yang telah kehilangan kekuatannya, keeping uang yang telah terhapus gambarnya yang tak lagi dianggap sebagai uang melainkan logam belaka.”

Kebenaran itu (sungguh) ada (?)

“Apakah kebenaran yang sesungguhnya itu benar-benar tidak ada?”

Bagi Nietzsche, kebenaran – sampai tahap ini – masih hanya ingin mengungkapkan kebutuhan subyektif manusia. Kebenaran hanya dianggap sebagai sebuah properti yang dapat dimiliki. Banyak orang menganggap sesuatu benar karena ingin menganggapnya benar. Bahkan, seseorang harus yakin bahwa tindakannya itu benar sekalipun jika keyakinannya itu adalah sebuah kebohongan.  Dengan begitu, “kebenaran” itu dirasa dapat memberi kelegaan, keamanan, dan ketenteraman bagi hidupnya. Bagi Nietzsche, kebenaran bukanlah sebuah properti atau harta milik. Kebenaran tidak dapat di-fix-kan, apalagi jika hanya untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri.

Bagi Derrida, Kebenaran dalam pemikiran Nietzsche itu tidak ada, yang ada hanyalah selubung. Sedangkan, Goenawan Mohamad berpandangan bahwa “bila Nietzsche menganggap kebenaran sebagai ilusi, maka itu artinya ada yang ‘benar’ dan ada yang ‘ilusi’. Dan, St. Sunardi mengungkapkan, “bukankah dengan mengutarakan kalimat itu (kebenaran adalah ilusi), Nietzsche sebenarnya mengutarakan kebenaran?” Dengan begitu, jelaslah di sini bahwa Goenawan Mohamad dan St. Sunardi menunjukkan bahwa kebenaran dalam pemikiran Nietzsche itu Ada.

Penutup

Jika Nietzsche mengumandangkan kebenaran sama dengan wanita, tentu saja yang ia maksudkan adalah kebenaran yang tak pernah menampakkan wajahnya yang sebenarnya. Artinya, kebenaran yang definitive itu tak pernah diketahui, bahkan mungkin tak ada sebab dunia ini adalah sebuah realitas yang terus menerus. Terhadap yang berubah dapatkah kita menetapkan sesuatu? Kehendak untuk menetapkan ini bagi Nietzsche adalah tanda kelemahan kehendak.

Setidaknya ada tiga level kebenaran yang diumpamakan sebagai wanita. Level pertama, ada kebenaran selubung, yang adalah kekeliruan. Kebenaran naïf yang menjangkarkan diri pada yang permukaan belaka. Pada level kedua, ada tingkat kebenaran dimana ketidakpuasan pada selubung membuat hasrat muda mencari adanya kebenaran dalam adanya wanita di balik selubung. Pada level terakhir, kebenaran dasar sebenar-benarnya selalu lolos dari tangkapan. Justru ketika sebuah kebenaran tertangkap, ia tidak lagi menjadi kebenaran. Yang tidak lagi menjadi kebenaran adalah apa yang tersingkap. Ketika sebuah konsep berpretensi bisa menyingkap realitas yang mau dikonsepkan, persis disitu konsep menjadi kekeliruan dan ilusi. Begitu pula dengan kebenaran. Jadi, apakah kebenaran itu sungguh ada?

Daftar Pustaka

Copleston, Frederick. 1963. A History of Philosophy Vol. VII. London: Search Press.

Hardiman, F. Budi. 2004. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia.

STF Driyarkara. 2004. Driyarkara (Th.XXVII, No.2). Jakarta: STF Driyarkara.

Wibowo, A. Setyo. 2004. Gaya Filsafat Nietzsche.Yogyakarta: Galang Press.

The criterion of truth lies in the intensification of the feeling of power

Nikolas Kristiyanto, “Di Hadapan Wanita?” dalam Tim Redaksi Driyarkara. Jurnal Driyarkara. (Jakarta: Senat Mahasiswa STF Driyarkara, 2010) hlm. 73.

Reudiger H Grimm, Nietzsche’s Theory of Knowledge, Berlin & New York: Walter de Gruyter, 1977, hlm.1

This world is the will to power and nothing else and you yourselves too are this will to power and nothing else!” Bdk. F Copleston, A History of Philosophy Vol VII (London: Search Press, 1963), hlm. 407.

Dikutip oleh Grimm dari Nietzsche Werke, ed By E Forster-Siestzche et al 2nd ed,.hlm 19

A Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche (Yogyakarta: Galang Press, 2004), hlm. 124.

Ibid., hlm. 141-142

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline