Lihat ke Halaman Asli

Pemberdayaan OMK: Sebuah Mitos yang Difaktakan atau Sebuah Fakta yang Dimitoskan?

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“…dan waktu yang akan menjawab semuanya…sebab ia tak pernah berdusta…hanya bisu dan (terbilang) egois lantaran ia tak pernah cerita apa yang ia kehendaki…waktu…itulah dia…mari kita hormati…nikmati sajalah…tak usah banyak cakap!” (Yogie Pranowo)

Di banyak paroki, kehidupan OMK selalu menjadi pusat perhatian. OMK sebagai bagian dari gereja yang adalah tubuh mistik Kristus kerap kali mendapat perlakuan yang istimewa. Entah karena selalu dituntut untuk ini itu, atau bahkan sebaliknya, tak diperhatikan sama sekali. Padahal gereja Katolik selalu mendengungkan pemberdayaan kaum muda. Pemberdayaan kaum muda seperti apakah yang sebenarnya ideal?atau pemberdayaan tersebut hanya sebatas permainan semantik untuk menggantikan kata perbudakan?

Kaum muda adalah (juga) sebagai being in the world, ia ada di dalam dunia. Nyata, real, konkrit, dan dapat diterima oleh persepsi indrawi. Kaum muda adalah juga manusia yang terus bergerak, berdinamika dan juga seperti manusia pada umumnya, ia terbelenggu. Karena belenggu-belenggu itu bersifat metafisis serta empiris, kaum muda juga butuh sesuatu yang bisa dijadikan pegangan. KITA BUTUH BIMBINGAN!!

Peran serta pembimbing dalam pembinaan kaum muda tidaklah mudah, karena tugas pembimbing bukanlah hanya untuk banyak berkata-kata, namun pembimbing tersebut haruslah menyatu dengan kaum muda. Penyatuan itu bisa berupa perhatian, kepekaan, dan pemberian kasih sayang yang tulus. Karena tanpa kasih, pembinaan tak akan berjalan mulus.

Namun, antara pembimbing dan kaum muda kadang ada jurang yang memisahkan mereka, antara lain, gengsi, harga diri, dan perbedaan visi. Perbedaan itu janganlah diperdebatkan, karena perbedaan itu ada bukan untuk diperdebatkan melainkan untuk member warna pada pembinaan itu sendiri.

Maka dari itu, benturan-benturan yang terjadi haruslah disadari dan diselesaikan dengan kerendahan hati. Sebab bukan siapa lebih hebat dari siapa melainkan siapa lebih rendah hati dari siapalah kuncinya.

OMK butuh perhatian, butuh sentuhan hati dan kasih sayang, bukan hanya objek yang dapat digonggong dan disuruh suruh seenaknya. Sebab jika pihak gereja memberdayakan OMK diluar batas-batas yang seharusnya maka OMK itu sendiri akan jadi bom waktu di parokinya sendiri. Ironis.

Dalam hal ini peran serta gereja dan pihak terkait, antara lain ketua SIKEP, dewan paroki, romo moderator, bahkan pastor paroki sangatlah penting. Jangan sampai gereja yang selama ini mengumandangkan kemanusiaan malah menindas kemanusiaan itu sendiri.

Gereja Katolik dalam hal ini nampak di beberapa paroki memiliki kecenderungan untuk mengandaikan sesuatu. Mengandaikan kalau romo yang menyuruh pasti dilaksanakan, mengandaikan kalau OMK pastilah program kerjanya hanya canda tawa, mengandaikan si A yang jadi ketua pastilah dia mau.

Ketidakadilan yang selama ini dialami oleh kaum muda sudah menjadi banal. Sudah tak terdefinisikan sebagai sebuah ketidakadilan, sebab ya itu tadi, gereja dan pihak-pihak tertentu sangat pandai berandai-andai, tanpa memikirkan aspek kehendak bebas…

Jika sudah demikian, marilah kita juga berandai-andai, apakah kita bisa membuat OMK semakin berkembang? Mari kita berandai-andai..

Sebuah mitos yang di-fakta-kan atau sebuah fakta yang di-mitos-kan?

Selamat merenungkan…




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline