Lihat ke Halaman Asli

The Seven Good Years, Memoar Penuh Cinta Sang Penulis Israel

Diperbarui: 28 Desember 2016   19:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Etgar Keret adalah seorang penulis berkebangsaan Israel keturunan Yahudi yang sangat kritis terhadap pemerintahan negaranya sendiri. Ia menentang pendudukan Israel di Palestina melalui cerpen-cerpennya yang sarat dengan pesan-pesan perdamaian, hingga membuatnya sempat diboikot oleh negaranya sendiri–Israel. Namun demikian, ia tetap teguh mempertahankan pandangannya bahwa perdamaian akan selalu melampaui batas Negara, bangsa, bahkan agama.

The Seven Good Years sendiri berisi fragmen-fragmen pengalaman hidup Keret dalam rentang waktu tujuh tahun–pengalaman yang sejatinya adalah sebuah “penderitaan” bagi orang awam, namun oleh Keret justru diceritakan dengan menarik, humanis, cerkas, mengharukan, sekaligus lucu lewat olokan-olokan yang ia tujukan untuk dirinya sendiri. “Penderitaan” dalam kurun waktu tujuh tahun yang justru secara ironis ia beri judul “The Seven Good Years”.

Keret membuka pengalaman pertamanya tentang kelahiran anak pertamanya di sebuah rumah sakit, bersamaan dengan berdatangannya korban serangan bom. Di bagian lain, ia menceritakan perjalanannya ke Bali saat diundang dalam sebuah event festival penulis. Ia menuturkan bagaimana susahnya memperoleh visa, juga menghadapi larangan ayahnya untuk datang ke Indonesia. “Itu negeri mayoritas Muslim, anti-Israel, dan anti-Semit,” begitu nasihat ayahnya. 

Keret berulang kali bilang bahwa di Bali mayoritas penduduknya adalah Hindu, tapi sang ayah tetap sarkastis menyangkal, “kita tidak perlu suara mayoritas untuk menembakkan peluru di kepalamu”. Tentu saja, ia akhirnya datang, dan bertemu orang-orang yang melihatnya dengan tatapan curiga. Sebagai seorang Yahudi berkebangsaan Israel, Keret kerap merasa takut dengan orang-orang asing dari luar negaranya. Di dalam hatinya, ia menyebut dirinya sendiri sebagai seorang Yahudi paranoid ketika bertemu dengan orang yang membenci Yahudi. 

Keluarganya sendiri–ayah dan ibunya–adalah penyintas Holocaust di zaman Nazi Jerman, hidup bersama para mafia dan ditampung di rumah pelacuran–tempat di mana mereka justru menemukan kasih sayang.

“Dalam Jejak Ayahku” adalah fragmen yang paling saya suka. Ia menggambarkan bagaimana seorang ayah, secara insting, melindungi anaknya. Itu yang ia lakukan pada anak lelakinya–Lev, dan itu juga yang dilakukan oleh ayahnya terhadapnya. “Dunia yang kita tinggali kadang bisa menjadi sangat keras. Dan, ini akan adil untuk setiap orang yang lahir mendapatkan setidaknya satu orang yang selalu akan ada di sana untuk melindunginya”, ini adalah line favorit saya–kalimat yang cukup membuat perasaan saya merasa hangat.

Selanjutnya, Keret menutup buku ini dengan fragmen “Pastrami”. Ia menggambarkan dengan sangat apik saat ia dan istrinya–Shira, bekerjasama menenangkan anak lelakinya dengan bermain Pastrami (bermain peran sebagai roti tangkup Pastrami) saat bom meledak di dekat jalan yang sedang mereka lewati, hidup dalam situasi perang.

Akan selalu ada nilai hikmah yang bisa kita ambil dari aktifitas membaca, pun membaca The Seven Good Years ini. Saya menemukan cinta dan harapan optimis sebuah perdamaian di hati seorang Yahudi berkebangsaan Israel–etnis yang banyak dibenci bahkan dikutuk oleh kebanyakan penduduk bumi. Saya selalu percaya, orang baik bukan karena ia berasal dari etnis atau ras apa, kebaikan akan selalu menemukan muaranya; hinggap di hati orang-orang yang berusaha “meregangkan” ruang di sudut hatinya, manusia-manusia yang kita sebut “berhati samudra”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline