Lihat ke Halaman Asli

Kehancuran Etika Politik Anggota DPR

Diperbarui: 3 Januari 2016   12:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

2015 adalah tahun perkara etika politik di DPR. Mungkin itulah kalimat yang bisa menggambarkan secara keseluruhan mengenai berbagai problem etika politik yang terjadi dengan beberapa anggota maupun pimpinan DPR sejak pertengahan tahun hingga akhir tahun 2015 lalu. Berbagai Pemberitaan media masa pun sangat kental menyoroti terkait permasalahan etika beberapa anggota maupun pimpinan DPR. Selain kasus pimpinan DPR bersama Donald Trump, kasus Papa Minta Saham yang menyita banyak perhatian publik, kini muncul lagi kasus salah seorang anggota DPR dari dapil NTT yang mengancam dan memfitnah serta mencaci maki Kepala Subdirektorat 2 Direktorat Narkoba Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) karena bisnis minuman keras (miras)-nya dirazia oleh Polda NTT dalam Operasi Pekat terkait pengamanan Natal.

Sungguh sangat memalukan, wakil rakyat yang selama ini diharapkan bisa menjadi contoh dan teladan, tapi ternyata sangat buruk etika politiknya. Selain itu pula, dalam kasus terakhir tadi menggambarkan bahwa masih ada anggota DPR yang berpikir menyelesaikan masalah hanya dengan tindakan premanisme guna melanggengkan kepentingan atau keuntungan bisnisnya tanpa memperhatikan dampak yang lebih besar bagi masyarakat. Hal ini bisa dikatakan cukup ironis dan sangat disayangkan.

Merespons berbagai dinamika persoalan di atas, muncul pertanyaan dalam benak kita yakni, masih adakah kesadaran etika politik anggota DPR yang mampu mencerminkan keteladanan yang baik bagi rakyatnya? Tampak jelas bahwa jikalau masalah ini tidak tanggapi dan ditindaklanjuti secara serius, maka publik akan terus menyaksikan bagaimana buruknya etika anggota DPR saat ini. Rohaniwan Katolik dan budayawan Indonesia Franz Magnis Suseno beberapa pekan lalu bahkan menyatakan bahwa kini terjadi ”pembusukan kesadaran etis pada beberapa wakil rakyat kita dan mereka tidak lagi menyadari punya tanggung jawab berat terhadap masyarakat”. Pernyataan Romo Magnis ini menjadi sebuah bentuk kritik pedas bagi anggota DPR yang kini etikanya makin tidak terkendali dan sangat bobrok.

Kesadaran Etika Politik

Kajian tentang etika politik, menurut pandangan Bernhard Sutor (Politsche Ethick, 1992), dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan (Haryatmoko) mengungkapkan bahwa etika politik memiliki tiga dimensi: pertama, menyangkut tujuan politik yang dirumuskan dalam mencapai kesejahteraan masyarakat dan hidup damai yang didasarkan pada kebebasan dan keadilan; kedua, menyangkut masalah pilihan saran yang meliputi sistem dan prinsip dasar pengorganisasian praktik penyelenggaraan negara dan institusi-institusi sosial; ketiga, berhadapan dengan aksi politik. Selanjutnya, dimensi ketiga mengenai aksi politik ini berkaitan langsung dengan perilaku para elit politik yang memegang peran penting untuk menentukan rasionalitas politik yang terdiri dari rasionalitas tindakan dan keutamaan (kualitas moral pelaku).

Rendahnya kesadaran akan rasionalitas tindakan dan keutamaan politik inilah yang selama ini dianggap menjadi faktor penyebab banyak anggota DPR kita terjebak dalam persoalan etika politik dan hukum. Para anggota DPR yang mengemban tugas sebagai wakil rakyat lupa akan tanggung jawab utamanya, sehingga tidak heran produk kebijakan legislatif yang dihasilkan dan kinerja tahun ini pun dikatakan sangat lamban jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Selain itu, masih banyak anggota DPR saat ini yang cenderung mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok mereka dari pada fokus memikirkan nasib rakyat. Singkat kata, mereka tidak memiliki ketajaman visi dan kemauan politik (political will) yang bisa menghasilkan produk legislatif untuk pembangunan masyarakat secara umum.

Pesan singkat yang disampaikan dari mayarakat pada awal tahun 2016 ini yakni hendaklah anggota DPR perlu menyadari kembali etika politiknya dalam hal berperilaku. Para anggota DPR saat ini harus membuka mata untuk berbenah diri dan punya tanggung jawab guna mengembalikan citra legislatif ke arah yang lebih produktif. Hal inilah yang menjadi orientasi utama dalam membangun kualitas kesadaran akan rasionalitas etika politik.

*Yustinus Oswin M

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline