Lihat ke Halaman Asli

Kambing Hitam Wacana "Full Day School" sebagai Misintepretasi Sistem Pendidikan

Diperbarui: 11 Agustus 2016   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Benarkah FDS memang tidak cocok kepada anak sekolahan SD dan SMP (sumber : kompas)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendi melontarkan sebuah wacana baru untuk meningkatkan kualitas pendidikan dasar yang ada di Indonesia. Konsep itu bernama “Full Day School” (FDS), di mana anak akan menghabiskan waktu di sekolah “lebih lama” daripada biasanya. Wacana ini bila diterapkan akan diberlakukan di sekolah swasta maupun negeri untuk tingkat SD dan SMP. Namun, seperti biasa, wacana ini mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Seperti biasa, saya mencoba untuk menjaring beberapa opini dari teman, rekan, dan mitra kerja dari berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan, mengenai tanggapan mereka terkait wacana FDS yang sempat dilontarkan oleh Mendikbud dan tidak sedikit yang menolak. Seorang rekan wanita karier berpendapat bahwa FDS itu tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia, apalagi untuk ukuran Jakarta. Alasannya cukup rasional, anak-anak butuh main, lebih bahagia pulang sekolah masih ada waktu untuk bermain. Di sisi lain, pulang jam 5 akan menambah kemacetan Jakarta. 

Seorang teman semasa kuliah, pekerja kantoran, memberikan pandangan yang tak kalah menarik. Beliau justru kembali memberikan pernyataan retoris yang sarat dengan sindiran, “Entah memang menteri kita sejelek ini, atau ini semacam bentuk kekecewaan dari orang-orang tentang Anies dicabut dari jabatannya, sehingga hal sederhana seperti ini menjadi masalah besar?” Beliau menambahkan, “Terlepas dari hal tersebut, mungkin karena sebagian besar hal ortu, hal ini gak sepele. Karena anak sekolah butuh bersosialisasi dengan hal lain selain sekolah.”

Namun, tetap ada yang mendukung dengan “beberapa catatan”. Seorang teman, pekerja di Jakarta, mengungkapkan bahwa wacana FDS ini sangat cocok diterapkan di kota-kota besar seperti Jakarta, namun tidak cocok diterapkan di desa-desa. Alasan beliau juga tak kalah relevan. Pertama, kecenderungan kehidupan di kota besar, seperti Jakarta misalnya, adalah kedua orangtua bekerja sehingga waktu kepada anak sehabis sekolah lebih banyak dihabiskan dengan asisten rumah tangga atau nanny-nya. Dengan menghabiskan waktu di sekolah lebih “efektif” dan tepat sasaran dalam perkembangan psikologis anak ketimbang diasuh sama asisten rumah tangga yang dianggap tidak memiliki kualifikasi pengetahuan dalam memahami psikologis anak. 

Alasan kenapa FDS tidak bisa diterapkan di desa karena anak-anak desa pada umumnya sehabis sekolah membantu orangtuanya bekerja, entah itu bertani, berkebun, atau mencari ikan dsb.. Seorang rekan yang lain berpendapat bahwa dia setuju dengan FDS dengan catatan bahwa porsi bermain anak lebih diperbanyak ketimbang pembelajaran formal nan teknis dan terkesan membebani anak.

Tapi terlepas dari pro dan kontra terkait mengenai wacana FDS, FDS hanyalah satu konsep dari ratusan atau ribuan parameter yang ada dalam kompleksitas sebuah sistem pendidikan. Dan mempertanyakan sebuah konsep sebagai tolok ukur suksesnya sebuah sistem pendidikan, bukankah itu sebuah tindakan yang menggelikan? Terima atau tidak, ada sebuah misintepretasi wacana FDS sebagai sebuah konsep pendidikan.

Misintepretasi Orangtua

Salah satu alasan Mendikbud menyuarakan mengenai FDS adalah fakta lapangan yang memperlihatkan bahwa orangtua (terutama yang berdomisili di kota besar) menghabiskan 2/3 dari waktunya dalam sehari untuk urusan pekerjaan sehingga kebutuhan anak akan perhatian setelah sepulang belajar di sekolah seringkali dialihkantugaskan kepada asisten rumah tangga atau menghabiskan waktu bermain di lingkungan luar tanpa pengawasan orangtua. Sebuah alasan yang relevan namun, secara pesonal masih belum cukup kuat menjadi landasan wacana digulirkannya FDS.

Ada dua hal mendasar yang menjadi paradigma pendidikan dan kerap kali menjadi misinterpretasi orangtua. Pertama, tidak sedikit orangtua sering salah mengintepretasikan FDS, dengan menganggap FDS akan membuat anak lebih mirip “pekerja kantoran” ketimbang anak sekolahan. Sekolah, belajar, sehabis jam sekolah, pulang untuk menghabiskan waktu di sekolah untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan bermain di sekolah, meskipun FDS tidaklah demikian. 

Justru kenyataan saat ini, tidak sedikit orangtua yang malah menjadikan anaknya menjadi “kuda pacu” untuk menebus “kegagalannya” di masa lalu. Sebagai contoh, orangtua gagal menjadi dokter, maka anak akan diprospek layaknya petugas MLM setiap hari agar si anak menjadi dokter. Atau sewaktu sekolah, orangtuanya tidak pandai matematika, ketika memiliki anak, orangtua akan memaksa anaknya untuk mengikuti les matematika. Atau sang orangtua ingin anaknya menjadi jenius, seperti yang ada di pemberitaan media, maka dia “memaksa” anaknya bisa baca tulis hitung di usia 4 tahun, lalu lulus SMA di usia 14 tahun melalui sekolah akselerasi. Sebenarnya, siapa yang kerap “menyiksa” anak sekolahan?

Kedua, orangtua justru lebih sering “lepas tangan” terkait perkembangan pendidikan anak dan selalu muncul di saat yang tidak tepat. Sebagai contoh, kebanyakan orangtua lebih suka menyerahkan anaknya untuk dididik di sekolah, dan dipercayakan di sekolah. Berhasil atau tidaknya sang anak adalah tanggung jawab guru yang mengajar, dan apabila sang anak dihukum dengan sebuah hukuman yang mungkin tidak pernah didapat di dalam lingkungan rumah (seperti misalnya dicubit atau dilibas dengan sapu lidi), maka orangtua akan mengambil tindakan “menghukum sang guru” atau melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Untuk contoh ini, sudah terjadi beberapa kali di Indonesia. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline