Sebuah pemberitahuan adanya pesan di Facebook muncul di ponsel. Dari seorang sahabat yang telah menjadi ekspatriat di regional ASEAN, tepatnya Filipina. Di lingkungan kerjanya, dia dipanggil Butar. “Mulak nama au Maret taon na ro, alai dang tu Jakarta, alai tu Toba. (Gue balik akhir maret tahun depan. Kaga ke Jakarta, tapi balik ke Toba).” Begitu kira-kira bunyi pesannya di akhir tahun lalu. Entah mengapa, pesan yang dikirimkan oleh Butar membuat rasa penasaranku membesar. Ada apa? Is he homesick? Setelah melalui chatting yang cukup lama, akhirnya saya mengerti. He wanna starting new chapter…Meninggalkan dunia IT yang digelutinya untuk mencoba sesuatu yang baru…
Memori saya kembali bergerak mereka-reka sebuah kenangan yang masih saya rindukan. Sebuah kenangan yang saya alami semasa duduk di bangku perkuliahan, kira-kira lima setengah tahun yang lalu. Saat itu, Butar mengajak saya ke sebuah tempat untuk survei lokasi wisata alam teman sekelas di akhir pekan. Alih-alih melakukan survey rekreasi, saya malah merasakan sebuah pengalaman “Into The Wild” yang sungguh sangat berkesan kepada saya yang tak pernah saya alami sebelumnya, hingga saya selalu berharap bisa mengulanginya di masa depan. Pengalaman Into The Wild yang saya alami agak mirip dengan film yang berjudul sama (Into The Wild, 2007), dituntut untuk “menyatu” dengan alam, dan memanfaatkan alam untuk bertahan hidup. Yang membedakan adalah saya tidak sendirian, dan lingkungannya tidak seekstrim yang ada dalam film (karena di pinggiran Danau Toba).
[caption caption="Tampilan Depan Lumban Toga, Kampung kecil tak berpenghuni yang berkesan natural"][/caption]
September 2010, Butar mengajak saya ke “kampungnya”, Marom. Starting point tentu dari kampus yang ada di Sitoluama, Laguboti. Kami menggunakan angkutan umum menuju Porsea, dan perjalanan hanya membutuhkan waktu sekitar 15-20 menit saja. Dari Porsea, kami melanjutkan perjalanan darat menuju Marom, dimana perjalanan membutuhkan waktu sekitar 30-40 menit. Tiba di Desa Marom, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki kurang lebih satu kilometer untuk mengakses sebuah kampung kecil bernama Lumban Toga. Di depan kampung tersebut, seorang pria telah menunggu kedatangan kami. Beliau adalah juru kunci sekaligus penjaga kampung, Pak Bondan. Pak Bondan adalah satu-satunya yang tinggal di kawasan tersebut. Ada beberapa rumah khas Batak (Sopo) yang tak berpenghuni sekaligus tak terawat, menambah kesan alami kampung ini. Kurang lebih 15 meter dari kampung tersebut adalah pesisir Danau Toba.
Tidak ada listrik, tidak ada tempat MCK, tidak ada peralatan memasak, jauh dari perkampungan sekitar. Itulah deskripsi umum dari Lumban Toga, sebuah kampung tak berpenghuni. Yang tersedia hanyalah sebuah kebun kecil yang ditanami jagung, tomat, bawang dan cabai. Petualangan di mulai. Berbekal peralatan seadanya (korek api dan ranting pepohonan), kami mencoba membuat sebuah titik api untuk membakar jagung sebagai pengisi perut. Malam hari, kami tidur di dalam sopo milik Pak Bondan, dan tetap tanpa listrik atau lilin.
[caption caption="Salah satu Sopo, rumah adat Batak, yang ada di Lumban Toga"]
[/caption]
Pergumulan di sore dan malam hari dibalas dengan keindahan pagi hari. Suasana sangat sejuk, dan burung silih berganti berkicau memanjakan telinga ini. Sebuah pengalaman yang menyenangkan. Butar mengajakku untuk bermain solu di danau. Ketika saya mendekati pesisir danau…Saya terperangah. Danau yang sangat bening dengan pasir putih, wow…amazing.
[caption caption="Tampilan belakang Lumban Toga, pemandangan Danau Toba"]
[/caption]
[caption caption="Butar sedang membawa Solu dengan view Danau Toba"]
[/caption]
Pulang dari lokasi, saya mengatakan kepada Butar bahwa ini adalah lokasi yang sangat fantastis untuk menghabiskan akhir pekan bersama dengan teman sekelas. Tantangan hidup di alam tentunya akan menjadi daya tarik tersendiri daerah ini. Akhirnya, beberapa pekan kemudian, kami sekelas berangkat menuju Lumban Toga, dan tiba disana pada sore hari. Satu persatu teman yang lainnya berkenalan dengan Pak Bondan dan tak lupa membakar jagung.