Lihat ke Halaman Asli

Platini, Sang Revolusioner Bag. 1: Fenomena Sporadis di Tengah Sepakbola Eropa yang Segar dan Radikal

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Platini, Sang Revolusioner Bag. 1

Fenomena Sporadis di Tengah Sepakbola Eropa yang Segar dan Radikal

Michel Platini, seorang legenda Prancis dan Juventus, yang saat ini menjabat sebagai Presiden Federasi Sepakbola Eropa (UEFA), dikenal sebagai seorang pemikir yang segar, radikal, dan memberikan sentuhan baru didalam persepakbolaan Eropa. Platini dengan berbagai ide revolusionernya berhasil mengubah konsep liga Eropa di masa lampau, mulai dari Liga Champions, Piala UEFA, Piala Intertoto, hingga pagelaran Piala Super Eropa. Tidak sebatas kompetisi, Platini juga melakukan intervensi secara tidak langsung kepada klub dengan menggunakan aturan baru Financial Fair Play (FFP). Bahkan teranyar, ide “gila”nya menawarkan piala Eropa 2020 dilaksanakan di 13 negara Eropa. Apakah berbagai ide segar nan radikal ini memang menawarkan sesuatu hal yang baru dan menguntungkan bagi persepakbolaan Eropa? Sejauh mana kerberhasilan Sang Revolusioner bernama Platini ini?

Dimulai dari Konsep Liga Champions. Platini berhasil membuat ide-ide segar nan radikal untuk menggebrak superioritas para klub liga-liga wahid di Eropa. Ide yang ditawarkan Platini adalah dengan menawarkan tambahan babak Play-off setelah babak ketiga kualifikasi Liga Champions. Babak Play-off akan mempertemukan sesama tim yang berstatus Juara Liga domestik masing-masing, yaitu klub dari liga minor (seperti Ceko, Bulgaria, Swiss, Austria) di Eropa, dan tim-tim yang berstatus non-juara dari liga mayor Eropa (seperti Inggris, Spanyol dan Jerman, Italia)akan saling mengeliminasi. Hal ini tentunya memperbesar kesempatan para klub-klub dari liga minor untuk lolos karena terhindar dari klub-klub liga mayor. Ide Platini ini sukses menambah jumlah kontestan dari liga minor yang berpartisipasi di babak utama Liga Champions. Perubahan terkait penambahan nilai keikutsertaan bagi kontestan juga diikuti dengan perubahan jadwal tayang. Pada format sebelumnya, di babak 16 besar, seluruh tim serempak bertanding di hari yang sama. Pada format yang diajukan Platini, setiap minggu hanya akan ada 8 tim yang berlaga, yang berarti mengubah jadwal penyiaran menjadi 4 tim setiap minggunya. Hal ini mengakibatkan TV pemegang hak siar tidak harus melakukan pemilihan siaran di Liga Champions dan seluruh pertandingan di Liga Champions bisa dinikmati oleh penikmat sepakbola. Sukses ini tidak hanya membuat klub-klub konstestan semakin bergairah, namun juga meredam pergolakan yang G-16, kumpulan klub elit Eropa yang ingin membuat liga tandingan akibat kurang memuaskannnya dana yang dikucurkan UEFA untuk kontestan Liga Champions.

Sukses menaikkan nilai Liga Champions tidak serta merta dibarengi dengan kompetisi Eropa yang lain. Platini justru menghapus sebuah jalur menuju Piala UEFA, Intertoto cup, dan mengganti Piala UEFA dengan Liga Europa. Formatnya masih tidak jauh berbeda dengan Piala UEFA, dan seperti yang sebelumnya, kesenjangan nilai hadiah yang diterima klub kontestan Liga Champions dengan Liga Europa sangatlah besar. Platini masih menerapkan sistem peringkat ketiga di babak grup Liga Champions akan berpartisipasi di Liga Europa. Meskipun hal ini dinilai membuat Liga Europa semakin menarik untuk disaksikan, namun penegasan ini seolah membuktikan bahwa Liga Europa masih sangat jauh kelasnya dibanding Liga Champions. Bahkan untuk musim depan, Platini memberikan sebuah tiket ke Liga Champions bagi juara Liga Europa dengan catatan, juara Liga Champions pasti mendapatkan tiket ke ajang tersebut berdasarkan posisinya di Liga Domestik. Ini tentunya sebuah ide segar dan radikal. Namun, sekali lagi, ide-ide segar radikal ala Platini tidak sepenuhnya memberikan efek yang positif, bahkan terkesan dialetik. Jumlah hadiahnya yang jauh lebih kecil dibandingkan Liga Champions, sekalipun jumlah pertandingan yang lebih banyak. Hal ini dialami langsung oleh kontestan asal Liga Italia, yang terang-terangan menganggap Liga Europa tidak lebih penting dari liga domestik, menilik jumlah hadiah yang disediakan UEFA. Di sisi lain, memberikan jatah tiket ke kompetisi ini kepada buangan babak utama Liga Champions tentunya semakin memperjelas peserta Liga Europa merupakan buangan dari Liga Champions. Platini semakin dianggap aneh karena menyamakan koefisien di Liga Champions dengan Liga Europa, meski kedua kasta ajang ini jauh berbeda. Hal ini semakin menegaskan bilamana Platini terus menerus menggeber sepakbola secara sporadis.

Imbas dari fenomena kebijakan Platini yang sporadis tidak hanya menjadi milik kompetisi saja. Klub juga terkena dalam sebuah aturan dialektik bernama FFP. Financial Fair Play (FFP) mengharuskan setiap kontestan yang bermain di liga-liga Eropa tidak diperkenankan ikut serta bilamana mengalami defisit lebih dari 30 juta euro setiap tahunnya. Di satu sisi, Platini berusaha untuk mencegah terjadinya kebangkrutan klub akibat industrialisasi sepakbola, di sisi lain, aturan ini sebenarnya hanya berlaku bagi tim-tim besar yang mampu memiliki anggaran belanja diatas 30 juta euro setahun. Cukup menggelikan memang. Dialektiknya FFP terlihat dalam pembatasan semangat berkompetisi dan juga akal-akalan klub besar. Bagi klub-klub sekelas Madrid, MU dan Bayern yang memang sangat kaya, kebijakan ini tidak akan menghalangi mereka dalam merekrut pemain-pemain terbaik di dunia ini. Namun bagi klub dengan level dibawah, kebijakan ini akan membatasi mereka belanja, yang akhirnya akan mengurangi nilai kompetisi mereka. Bagi klub-klub yang suka belanja besar, namun tak memiliki pendapatan besar seperti Madrid dan MU, melakukan megakontrak dengan sponsor boleh jadi akal-akalan yang cocok untuk ini. Secara umum, FFP ini adalah sebuah aturan yang useless dari Platini.

[caption id="" align="aligncenter" width="615" caption="(Platini penuh denganIde revolusioner segar dan radikal. (Credit : soccer))"][/caption]

Belum kelar perdebatan soal FFP, format liga-liga Europa, Platini kembali muncul dengan ide revolusionernya. Platini mengirimkan proposal kepada FIFA agar turnamen besar seperti Piala Dunia, Liga Champions, Piala Afrika, Piala Eropa, dilakukan pada kurun Februari dan Maret. Ide revolusioner Platini ini memastikan bahwa kompetisi domestik di Eropa hanya bisa berlangsung selama 7,5 bulan. Inggris, Italia, Spanyol dan negara dengan kontestan sebanyak 20 di kompetisinya dipastikan harus memangkas jumlah pesertanya. Ide ini mendapat tentangan dari negara-negara sepakbolanya besar. Selain itu, Platini juga mengajukan ide untuk menyelenggarakan Piala Eropa 2020 di 13 negara, dimana laga semifinal dan final digelar di satu negara, dan laga sebelumnya digelar di 12 negara. Bukan mendapat dukungan, ide Platini malah mendapat kecaman dari berbagai pihak. Penyelenggaraan Piala Eropa di 13 negara akan mempersulit transportasi dan akomodasi dari pihak-pihak yang berkepentingan dimulai dari fans, jurnalis dan media.

Platini dengan segala ide revolusionernya telah memberikan warna baru ke dalam sepakbola Eropa. Namun, idenya yang segar dan radikal namun dilontarkan secara sporadis tidak selalu memberikan efek positif kepada perkembangan sepakbola Eropa. Alih-alih untuk mengembangkan sepakbola Eropa, fenomena ide revolusioner Platini malah menunjukkan betapa berkuasanya dia atas sepakbola Eropa.

-Daniel Oslanto-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline