Aktivitas WFH (work from home) mengingatkan kita pada peristiwa Covid-19. Peristiwa yang sangat mencekam di mana pemerintah harus mengambil tindakan secara cepat untuk mengatasi persoalan kemanusian (kesehatan) dan perekonomian Negara. Lantas apa yang harus dan telah kita pelajari dari peristiwa bersejarah itu?
Sebagai seorang anak muda yang berprofesi "guru" di beranda perbatasan Indoleste (Indonesia-Timor Leste) begitu banyak pikiran cemas menghantui, berkaitan dengan proses belajar anak.
Memang belajar dari rumah dengan bermodalkan HP android dan kemudahan dari pemerintah karena diberi pulsa (paket belajar) yang serba gratis, tentu sangat mempermudah dan mengurangi perekonimian orangtua. Tetapi hanya untuk mereka yang memiliki akses ke dunia maya.
Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki akses ke sana? Mikirnya bukan sekali-dua kali ni... mikirnya berkali-kali...agar semua anak bisa menerima materi yang sama, apalagi mereka masih dalam jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Persoalan kecil di atas sengaja menjadi bahan analisis antara WFH dan WFO. Entengnya mana? Bekerja dari rumah? Apa bekerja dari kantor? Keduanya menduduki posisi yang sama yakni "bekerja" tetapi nilainya berbeda. Di mana letak perbedaan itu? Toh keduanya sama-sama bekerja.
Nah, pertanyaan semacam ini sangat sering kita dengarkan. Dan kebanyakan orang akan lebih memilih bekerja dari rumah karena digandrungi berbagai macam alasan di balik bekerja dari kantor. mulai dari satu perintah "harus". Harus bangun pagi-pagi, harus buruh angkot, harus buruh waktu, biar gak telah karena jalanan akan macet dan masih begitu banyak keharusan.
Sangat berbeda jika bekerja dari rumah. Apapun yang dipersiapkan hanyalah sebatas ruang private (kamar pribadi ataupun halaman rumah yang memberi kenyamanan). Bermodalkan paketan ataupun wifi semuanya menjadi instant.
Mudahnya kedua aktivitas mendatangkan polemik untuk mencari eksistensi dari esensialnya dua aktivitas. Hemat saya sebagai seorang anak muda, bekerja dari rumah ataupun dari kantor, tidak dapat diukur dengan model perintah "keharusan". Jika yang dilihat demikian? Maka hakikat dari nilai sosial itu hilang.
Hemat saya, pada kesejatiannya anak muda itu harusnya berselancar di tengah dunia kehidupan; singkat kata "integritas hidup sosialnya tinggi". Jika dia (anak muda) bekerja dari rumah dalam kesendirian, di manakah jiwa sosialnya sebagai makhluk sosial yang harus berinteraksi secara langsung? Jika bekerja dari kantor adalah pilihan yang terbaik; apakah itu dapat dibenarkan? Jika yang terjadi hanyalah duduk ngobrol.
Memang tidak semua sikap di atas terjadi; tetapi inilah nilai hidup yang ingin kita gali. Bekerja adalah nilai dari suatu pelayanan. Entah dari manapun kita bekerja satu hal yang paling diutamakan adalah itu berguna bagi sesama kita.