Persoalan
Manusia kerap didominasi oleh kekuasaan yang ada dalam diri ataupun keadaan situasi dan kondisi yang memaksa untuk menguasai. Tindakan menguasai tentu bertentangan dengan berbagai aspek kehidupan baik bermasyarakat ataupun bernegara. Oleh sebab itu tidak heran bila lahir berbagai sistem aturan atau norma moralitas kehidupan yang ingin mengatur manusia sejauh itu layak untuk dilakukan.
Pengaruh filsafat abad pertengahan membatasi ruang gerak aktivitas manusia untuk berpikir bebas dalam menentukan tindakannya. Sebab teologi dan filsafat disatupadukan, filsafat tunduk kepada teologi dengan demikian hukum dan tata aturan dapat bersifat teosentris. Tata aturan seperti ini berdampak pada negara. Negara menjadi obyek kekuasaan yang dikendalikan oleh agama. Dengan demikian segala sistem pemerintahan diatur berdasarkan hukum agama dan agama masuk pada ruang politik untuk bebas menentukan dan menjalankan apa yang dibuat oleh seorang pemimpin.
Praktek-praktek kekuasaan pada abad pertengahan membuat Niccolo Machievelli mendobrak masuk ke dalam sistem tersebut dengan pemikiran-pemikirannya yang dapat dikatakan ekstrem menurut pemikiran orang-orang saleh karena bertentangan dengan norma-moralis kemanusiaan. Tetapi, jauh dari penolakan itu, pemikiran dan taktik politiknya sampai sekarang digunakan oleh negara-negara dalam situasi-situasi tertentu.
Tentang Niccolo Machiavelli dan Pemikirannya
Niccolo Machiavelli lahir 3 Mei 1469 di Floren, Italia. ayahnya seorang pengacara dan bangsawan Toskana. Ia belajar literatur antik dan ilmu hukum di bawah bimbingan Prof. Marcello di Virgilio pada tahun 1494. Setelah jatuhnyanya Savanarola, ia menjabat sebagai penasihat politis kota Floren pada tahun 1498. Ia melakukan kunjungan diplomatis ke Prancis dimana raja Luis XII sebagai pemimpin pada tahun 1500. Ia juga mulai mengadakan pemberontakan pada tahun 1505. Karir perpolitikannya mulai berakhir ketika spanyol menakhlukan Italia dan keluarga Medici menangkap dan menjebloskan dia ke dalam penjara. Setelah kebebasannya, ia menyingkir ke pinggir kota dan menulis apa yang dia amati selama pengalamannya, sehingga terbitlah buku Ill Principe pada tahun 1532. Terlepas dari bukunya yang termasyur itu, ia juga menulis buku komedi yang berjudul Mandragola. Ia meninggal pada 22 Juni 1527.
Tentang pemikiran Machiavelli, seorang sejarawan Swiss, Jacob Burckhardt memberikan pengakuan demikian;
"Dalam hal kemampuannya untuk merekonstruksi sebuah negara, Machiavelli tak ada tandingannya. Dia selalu menghimpun kekuatan-kekuatan yang ada sebagai kekuatan-kekuatan yang hidup dan aktif, serta memberikan alternatif-alternatif secara tepat dan hebat dan tidak mencoba menipu diri maupun orang lain. Dalam dirinya tak ada jejak keangkuhan ataupun sikap berlebih-lebihan. Bukankah dia tidak menulis untuk orang banyak, melainkan entah untuk instansi-instansi pemerintah, untuk para pangeran atau untuk teman-temannya? Bahayanya tidak terletak dalam kejeniusan palsu, juga tidak dalam kesintingan konsep-konsep, melainkan dalam suatu fantasi yang kuat yang dengan segala upaya ingin dikendalikannya. Namun objektivitas politiknya sewaktu-waktu mengerikan dalam keterusterangannya, namun objektivitas itu lahir dalam sebuah zaman yang sangat darurat dan berbahaya. Dalam zaman itu manusia tidak lagi mudah percaya kepada hukum dan tak dapat mengandaikan kemurahhatian"
Pernyataan Jacob telah membuka ruang untuk mengenal siapa sebenarnya Machiaveli dan setiap tindakan dari pola pikirnya yang tidak lain mendobrak pemikiran abad pertengahan. Dengan kata lain, Machiaveli menjebol pola-pola legitimasi kekuasaan tradisional. Sekalipun gagasannya mencerminkan gagasan Renaisans yang banyak mengacu pada kebudayaan klasik.
Dalam hubungan agama dan negara Machiaveli mengatakan bahwa negara jangan sampai dikuasai agama sebagaimana yang pernah terjadi di dalam kekaisaran Romawi kuno. Pernyataan ini, tidak ingin mengatakan bahwa agama tidak penting. Agama pada prinsipnya dapat berfungsi sebagai pemersatu melalui kebudayaan dan pranata-pranata yang ada di dalam agama. Dengan demikian Machiavelli melihat agama lebih kepada sifat sekular. Ketika agama dipandang dengan sifat demikian, maka manusia tidak lagi terikat pada aturan moral sebab manusia telah menemukan kebebasannya sebagai makhluk yang rasional. Dia dapat bertindak tidak lagi mementingkan emosi-emosi moralitas yang menyulitkan kekuasaannya. Tetapi dia juga dapat bertindak secara moralitis dengan menunjukkan kemurahan hati, sikap saleh, manusiawi, jujur tetapi semua ini difungsikan untuk maksud-maksudnya. Kalaupun keadaan menuntut, demi kekuasaannya juga, dia harus bisa mengambil sikap sebaliknya.
Seorang penguasa dalam pemikiran Machiavelli adalah dia yang otonom terhadap kedudukannya. Dia tidak perlu mengikuti suatu aturan yang mutlak sebab dia dapat bersifat realistis terhadap suatu keadaan. Maka dalam suatu pemerintahan penguasa yang cerdik akan menyingkirkan orang-orang yang potensial menjadi saingannya. Sebagai gantinya dia akan menempatkan orang-orang yang mematuhinya disekelilingnya.