Berbicara tentang pendidikan dan kemerdekaan sepertinya sudah menjadi topik yang biasa didengar semua orang. Apalagi ditengah situasi pandemi covid-19.
Negara kita seperti dikejutkan dengan pola atau sistem yang dirancang oleh pemerintah dalam hal ini melalui menteri pendidikan memberlakukan sistem daring atau online. Secara garis besar sistem ini menjadi solusi utama di mana tidak diberlakukan pilihan untuk tawar-menawar. Dengan demikian sistem daring menjadi hak mutlak yang harus dilakukan.
Ketika rencana belajar-mengajar dikembalikan kepada orangtua sebagai pengawas utama dan daring sebagai penghubung antara guru dan murid, atau rumah dan sekolah; secara sadar tercipta persoalan baru.
Ekonomi keluarga menjadi pokok pikiran utama. Mengapa? Karena daring membutuhkan kuota dan orangtua harus bekerja ekstra tidak hanya mengurus seisi rumah tetapi juga kegiatan belajar anak.
Hal serupa terjadi terhadap guru yang menempati dua posisi sebagai orangtua untuk memberikan perhatian kepada anak-anak dan profesi "guru" sebagai pengajar, pendidik bagi siswa-siswinya. Membayangkan tugas demikian, kita dapat bertanya; "merdeka" kah mereka?
Di daerah-daerah dengan tingkat kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi yang besar dan memadai, menjawabi sistem pendidikan di tengah pandemi dengan jiwa yang merdeka. Namun, bagaimana dengan mereka yang berada di pelosok-pelosok negeri tercinta ini. Apakah mereka sanggup berkata "merdeka" selagi belum mengecap pendidikan yang semestinya.
Berbicara soal daring untuk anak-anak di pelosok negeri bukanlah hal biasa bagi mereka tetapi suatu kebaruan bahkan mungkin juga hal baru untuk para pendidiknya.
Walaupun pendidiknya mengerti tentang daring, namun bagaimana sistem ini dapat dijalankan dengan keterbatasan perangkat penunjang. Indonesia pada abad ini dapat sesuara bersama dunia berkata; abad ini, telah masuk dalam perkembangan industri 4.0, tetapi di pelosok negeri, terbungkam bahasa, rasa, dari realita kalau mereka dan kami masih jauh di luar industri 4.0.
***
Pendidikan Demi Bangsa dan Negara
75 tahun sudah Indonesia merayakan kemerdekaan. Usia 75 tahun menjadi usia di mana seorang manusia menikmati masa tuanya. Berjalan-jalan bermain dan berkumpul dengan cucu, cece. Tetapi tidak untuk suatu negara. 75 tahun, masih tergolong muda untuk menelusuri karya, perjuangan, cita-cita bangsa dan negara dan berbagai macam perencanaan guna menentukan mau di bawa ke arah manakah bangsa dan negara ini.
Sejenak kita membayang kembali ke masa di mana kita dijajah tanpa pendidikan yang merata zaman itu, akibat diskriminasi antar golongan baik pribumi maupun kolonial.