Kenangan tentang peristiwa di suatu waktu bersemi dan berguguran. Itulah arti dari kehidupan. Seperti kata Pengkotbah, ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit. Begitupun perasaan, ada waktu untuk menggenggam, ada waktu untuk mengiklaskan.
Matahari pagi ini, mengingatkanku akan peristiwa dua puluh tahun lalu. aku dan Doni suamiku, bersiap berangkat ke gereja melangsungkan pernikahan suci kami.
Perasaan sungguh sangat diberkati di hari itu, dan aku menyadari "Novemberku telah bersemi" Aku menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anakku kelak.
Hari itu, aku menggenakan gaun pengantin terbaik begitupun calon suamiku dengan stelan jas terbaiknya. Namun sayang, sukacita itu seketika hilang ketika Linda sepupuku memberikan tudung putih untuk kukenakan. Tangis tak dapat kubendung, tudung itu kuambil, dan kudekap dalam air mata.
Jika masyarakat adat lain mempercayai kudung putih dibuat panjang agar menyulitkan pengantin melarikan diri atau untuk menyembunyikan wajah pengantin perempuan sebelum bertemu mempelai pria wajahnya harus ditutup agar tidak ditimpa kesialan, tidak dengan tradisi kami.
Tradisi kami menjujung tinggi sebuah pernikahan yang suci. Memakai gaun putih sebagai perlambang kesucian diri yang hanya dipersembahkan kepada pasangan.
Tetapi tidak untukku, dua bulan sebelum pernikahan kami Ananis merenggut kesucianku. Aku tergoda rayuan Ananis yang tidak lain adalah teman Doni calon suamiku,
Kudung putih yang diberikan Linda masih kudekap dalam ketakutan. Doni menghampiriku sambil tersenyum menyeka air mataku yang perlahan jatuh nyaris menghapus make up Bibi diwajahku.
Kata Bibi ini polesan terbaiknya, hampir saja aku tidak mengenali wajahku sendiri. Air mataku bagi Doni adalah air mata bahagia, jauh dilubuk hatiku aku mengutuk diriku bersama rayuan Ananis.
Novemberku bersemi, aku yang sedang bahagia karena dinikahi Doni. Novemberku yang kalut karena perasaan bersalah terus menghantui.
***