Lihat ke Halaman Asli

Kawin Tangkap di Pulau Sumba dalam Pusaran Budaya Patriarki

Diperbarui: 1 Juli 2020   17:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kompas.com

Tulisan ini merupakan respon atas perilaku kawin tangkap (palaingidi mawini) yang terjadi di Pulau Sumba. Sebagai orang yang lahir dan besar di Sumba, secara empiris saya sedikit memamahami bagaimana proses dan tahapan dalam kawin tangkap itu. Meskipun saat ini eksistensi dari kawin tangkap mendapat tanggapan yang beragam dari masyarakat.

Secara pribadi saya cukup miris menyaksikan praktik kawin tangkap yang kesannya tidak menghargai posisi perempuan. Cara tersebut menimbulkan trauma bagi bagi perempuan lain di Pulau Sumba. Yang  lebih miris adalah perempuan yang menjadi korban kawin tangkap di pegang dari berbagai macam sisi oleh beberapa laki-laki sehingga  muncul kesan tidakan kekerasan dan pelecehan seksual.  

Persoalan kawin tangkap yang terjadi di pulau sumba mendapat perhatian dari berbagai media-media nasional. Bahkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak meminta Polda NTT menangkap pelaku kawin tangkap.  Itu artinya persoalan kawin tangkap merupakan persoalan serius yang perlu mendapat perhatian  dari masyarakat, pemerhati budaya dan juga pemerintah daerah.

Menurut Janet Alison Hoskin dan Joel C Kuipers yang melakukan penelitian terhadap Kawin tangkap di Pulau Sumba, kawin tangkap bukanlah budaya atau tradisi, melainkan praktik yang terus-menerus berulang.

Sementara menurut antropolog dari Universitas Widya Mandira Kupang Pater Gregorius Neonbasu, praktik kawin tangkap di Pulau Sumba hanyalah tindakan pragmatis yang terjadi karena kondisi dan iklim kehidupan sesaat.

Sependapat dengan hasil penelitian itu, kawin tangkap sejatinya merupakan praktik yang terus berulang sehingga bagi sebagian masyarakat dianggap sebagai sebuah tradisi. Itulah yang membuat praktik kawin tangkap langgeng sampai dengan saat ini.  

Hal lain yang membuat praktik kawin tangkap langgeng adalah kegagalan sistem pendidikan dalam tranformasi kebudayaan.

Sebagai sebuah subsistem, pendidikan adalah bagian terpenting dari kebudayaan, berfungsi sebagai pengarah kebudayaan dan sekaligus mekanisme pewarisan nilai-nilai budaya sesuatu masyarakat dari satu generasi ke lain generasi. Pendidikan sejatinya mampu mentransformasi kebudayaan dan tradisi masa lalu sesuai dengan keadaan saat ini. Konsep transformasi sendiri merujuk pada perubahan bentuk dengan tidak menghilangkan unsur lamanya

Selain itu, budaya patriarki yang tumbuh subur di Sumba menempatkan perempuan pada posisi subordinasi. Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak karya sutradara Mouly Surya menjadi referensi lain atas praktik budaya patriarki di Pulau Sumba. film lainnya yang menggambarkan budaya patriarki di pulau Sumba adalah The Woven Path dan Perempuan Tana Humba.

Usulan beberapa toko dan pemerhati budaya agar dibuat Peraturan daerah (Perda) dan mendesak Polisi menangkap pelaku kawin tangkap adalah usulan yang kurang tepat. Selain tidak menyelesaikan persoalan, usulan tersebut juga bias gender, sebab  perempuan dalam hal ini tidak perlu dibela karena tindakan melindungi tersebut justru semakin menguatkan bahwa perempuan adalah kaum yang lemah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline