Lihat ke Halaman Asli

L’histoire se Repete-33: Konflik Politikus, Enggak Dulu Enggak Sekarang

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak merdeka, sejarah Indonesia rasanya hampir selalu diwarnai konflik antar politikus. Kalau di negara lain konflik antar politikus banyak berimbas kepada pencapaian-pencapaian tertentu seperti naiknya kesejahteraan, stabilnya aturan demokrasi dan dewasanya bernegara, entah pencapaian apa yang kita rasakan dari konflik antar politikus kita. Tidak percaya?! Coba baca kembali buku pelajaran sejarah Anda he...he.... Tapi kalau kita tarik sejarah lebih ke belakang, rasa-rasanya enggak dulu enggak sekarang, konflik antar politikus itu selalu ada kok. Mungkin Anda tidak setuju, tapi fakta sejarah menunjukkan bahwa kita tidak pernah berkonflik ketika kita sama-sama menderita di bawah penjajahan bangsa asing. Satu periode dalam sejarah Indonesia yang tidak diwarnai oleh konflik para politikusnya adalah ketika kita dijajah. Boro-boro mau berkonflik, untuk hidup dengan nyaman saja sudah megap-megap di alam penjajahan. Tapi satu fakta yang saya catat, ketika sang penjajah akan menawarkan suatu posisi atau jabatan, pasti tidak beberapa lama kemudian beberapa orang atau bangsawan yang kege-eran akan cakar-cakaran, berlomba setor muka dan berlomba untuk menjilat sana sini. Pastilah sang penjajah senang bukan kepalang bak para penonton sedang menonton adu ayam atau sedang bertepuk tangan menyaksikan lomba panjat pinang. Tidak usah jauh-jauh-lah, para pahlawan yang dulu masih berteman dan bekerjasama pada saat masih sama-sama susah dan menderita di alam penjajahan, tiba-tiba mereka gontok-gontokan dan cakar-cakaran ketika baru saja merdeka. Dan anehnya, fenomena itu terus berlangsung sampai kini. Ngomong-ngomong, masih ada yang mau jadi politikus? Naskah Wangsakerta; walaupun belum diakui sebagai naskah resmi oleh para ahli sejarah; sangat menolong kita untuk memahami sejarah masa lalu, terutama di jaman paska Kerajaan Tarumanagara, yaitu jaman Kerajaan Sunda dan Galuh. Nah, saat membaca kisah di jaman inilah saya akhirnya mengambil kesimpulan, bahwa enggak dulu enggak sekarang ternyata sama saja, para politikus itu memang senangnya berkonflik dan cakar-cakaran melulu. [caption id="attachment_118987" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: www.id.wikipedia.org"][/caption] Paska menurunnya pamor Kerajaan Tarumanagara di tahun 669M, mulailah konflik di antara keturunan bangsawan Tarumanagara. Saat Tarusbawa ingin memindahkan ibukota Tarumanagara ke Sundapura lalu mengubah Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda, saudaranya yang bernama Wretikandayun; raja wilayah di Kerajaan Galuh; menyatakan ketidaksukaannya. Bermodalkan hubungan perbesanan dengan Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga, akhirnya Tarusbawa tidak berdaya dan berikutnya dipecahlah wilayah Tarumanagara menjadi dua, menjadi Kerajaan Sunda di barat dan Kerajaan Galuh di wilayah timur. Apakah konflik berakhir sampai di sini? Tidak. Di Galuh senjadi mulai muncul banyak konflik di antara keturunan Wretikandayun. Konon karena ompong, anak Wretikandayun yang bernama Sempakwaja akhirnya tidak bisa menjadi raja di Galuh. Dia digantikan oleh Mandiminyak (702 - 709M) yang menikah dengan Parwati, anak Ratu Shima. Masalah muncul ketika Mandiminyak meninggal dunia. Sena (atau Sanna atau Bratasenawa); anak Mandiminyak dan Parwati;  harusnya menduduki tahta Galuh tapi Purbasora; anak Sempakwaja; tidak terima, ia merasa berhak atas tahta kerajaan karena dia adalah anak seorang mantan putera mahkota yang kebetulan tidak bisa menduduki tahta hanya karena cacat fisiknya. Bagaimana pun juga Sena akhirnya berkuasa di Galuh pada tahun 709M. Sena sebelumnya menikah dengan cucu Ratu Shima yang bernama Sanaha, melahirkan seorang anak yang bernama Sanjaya. Beranjak menjadi pemuda, Sanjaya kemudian dinikahkan dengan anak perempuan Tarusbawa, raja Sunda. Ketidaksetujuan Purbasora terhadap tahta Sena ternyata mendapat banyak dukungan, salah satunya dari mertuanya yang adalah raja Indraprahasta, kerajaan wilayah di daerah Cirebon. Dan akhirnya berhasillah Purbasora mengkudeta Sena. Tahun 716M, dia digulingkan dari tahtanya tapi masih bisa melarikan diri bersama keluarganya ke Kalingga, kerajaan isterinya. Tapi saat Tarusbawa wafat di tahun 723M, Sanjaya diminta untuk menduduki tahta kerajaan Sunda. Inilah saat untuk membalas dendam kepada Purbasora, orang yang telah mengkudeta ayahnya, Sena. Demikianlah, akhirnya Sanjaya berhasil membunuh Purbasora beserta keluarganya dengan bantuan pasukan dari Sunda. Kerajaan Indraprahasta pun dihancurkannya. Dendam pun terbalas sudah. Tapi ada masalah, tidak ada keturunan Sempakwaja yang bersedia menduduki tahta Galuh. Dengan terpaksa Sanjaya akhirnya menduduki pula tahta Galuh, jadi sekarang dia berkuasa atas Sunda dan Galuh. Sadar dia tidak disukai di Galuh, akhirnya Sanjaya menunjuk cucu Purbasora yang bernama Premana Dikusuma menduduki tahta Galuh dengan status sebagai raja wilayah di bawah Sunda. Untuk mengikat Premana, dia dinikahkan dengan Dewi Pangrenyep, anak dari Patih Sunda. Sebelumnya dia sudah menikah dengan Naganingrum dan memiliki anak bernama Surotama atau Manarah yang kemudian dikenal dengan nama Ciung Wanara. Lalu anak Sanjaya yang bernama Tamperan ditugaskan menjadi panglima perang Sunda di ibukota Galuh. Konon, terjadi skandal antara Tamperan dengan Dewi Pangrenyep sehingga melahirkan seorang anak bernama Banga. Tahun 732M, Sanjaya dipanggil pulang ke Kalingga untuk menduduki tahta Kerajaan Kalingga sepeninggal Ratu Shima. Sebelum ke Kalingga, dia memerintahkan Tamperan untuk menjadi raja di Sunda - Galuh, sementara kakeknya yang bernama Resi Demunawan diminta menjadi raja wilayah di Kerajaan Kuningan dan Galunggung. Tamperan menjadi raja tahun 732 - 739M. Apakah konflik berhenti? Tahun 739M, Ciung Wanara atau Manarah melakukan kudeta terhadap Tamperan yang berujung pada tewasnya Tamperan dan ditawannya Banga. Sanjaya yang mendengar berita itu menjadi marah dan mengirim pasukan untuk menyerbu Manarah. Beruntung, perang saudara itu bisa dihentikan oleh Resi Demunawan. Perundingan pun dilakukan. Hasilnya, Manarah menjadi raja Galuh (739 - 783M), sedangkan Banga menjadi raja Sunda (739 - 766M) di bawah Kerajaan Galuh. Demikianlah, untuk sementara waktu konflik para bangsawan itu pun terhenti. Tidak untuk selamanya, karena kemudian terjadi lagi konflik yang berulang-ulang dalam kerajaan di wilayah Sunda. Sementara itu Sanjaya akhirnya dikenal sebagai pendiri Wangsa Sanjaya dan kerajaannya kelak dikenal sebagai Kerajaan Mataram Kuno. Penuh dengan konflik pula. Ah...enggak dulu enggak sekarang. (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan,  6 Juni 2011)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline