Jam sudah melewati angka 12 malam, berarti hari sudah berganti menjadi Jumat. Tanggal pun sudah berubah menjadi 17 Agustus 1945. Ketegangan masih terasa di rumah Laksamana Maeda di mana Bung Karno, Bung Hatta, Subardjo dan Sukarni masih berada di dalamnya. Kempetai bersiaga di seluruh Jakarta. Pemuda-pemuda berkumpul di dalam markasnya masing-masing. Demikian pula para pendekar, jawara sudah diorganisir oleh para pemuda revolusioner. [caption id="attachment_228697" align="aligncenter" width="300" caption="Rumah Maeda (sumber: www.rosodaras.wordpress.com)"][/caption] Hanya mungkin prajurit PETA yang agak kecewa. Sesuai deklarasi menyerahnya Jepang tanggal 15 Agustus 1945, tentara Jepang diperintahkan menjaga status quo sampai pasukan sekutu mendarat. Konsekuensinya, senjata-senjata yang dipegang PETA juga harus ditarik untuk digudangkan. Demikianlah Daidancho Kasman Singodimedjo sebagai komandan PETA di Jakarta mendapatkan perintah untuk menarik senjata yang dipegang pasukan PETA. Untungnya, malam sebelumnya Latief Hendraningrat sudah mengijinkan gudang senjata untuk dibongkar. Lagipula, Daindancho Kasman Singodimedjo sedang dipanggil bersama para daidancho se-Jawa dan Madura untuk mendapatkan briefing di Bandung. Saya yakin, kalau Bung Karno dan Bung Hatta gagal mengelola situasi malam itu, pasti saat itu Jakarta sudah berdarah-darah. Tapi ketegangan belum mereda. Walaupun tidak ada pertempuran malam itu bukan berarti para revolusioner mulai melemah dalam hal tuntutan proklamasi kemerdekaan secepatnya. Ultimatum sudah diajukan, paling lambat 17 Agustus 1945 jam 12h00, kemerdekaan harus sudah diproklamasikan. Menurut pengakuan Maeda, pada menit-menit ini Maeda berinisiatif menelepon Mayjen Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke 16 yang menguasai Jawa dan juga merangkap sebagai Komandan Garnisun Ibu Kota. Maeda meneleponnya karena Jakarta berada di bawah yuridiksi Angkatan Darat, bukan Angkatan Laut tempatnya bekerja. Tapi Yamamoto tidak bersedia ditemui karena sudah larut malam. Dia menyuruh Maeda menemui Mayjen Nishimura Toishi. Jam 01h00. Maeda mengantarkan Bung Karno dan Bung Hatta ke rumah Mayjen Nishimura di Jalan Meiji (sekarang Jalan Diponegoro). Ternyata di sana sudah berkumpul para perwira dan pejabat Jepang sedang mengadakan pesta minum sake, mungkin untuk melupakan kesedihan karena kalahnya mereka dalam perang melawan sekutu. Bung Karno, Bung Hatta, Nishimura dan Maeda, didampingi oleh penerjemah Angkatan Darat, Nakatani berkumpul di ruang gambar. Bung Karno mengusulkan 2 hal. Yang pertama bahwa sidang PPKI akan diadakan pada tanggal 17 Agustus 1945, lebih cepat dari rencana semula. Dalam sidang itu kemerdekaan akan dideklarasikan. Usulan kedua, deklarasi kemerdekaan dinyatakan tanggal 18 Agustus 1945, dan sidang PPKI akan diadakan sehari sesudahnya. Awalnya Nishimura setuju kemerdekaan diproklamasikan, tapi setelah 23 Agustus. Bung Karno bertanya apakah mereka berani menjamin bahwa sebelum 23 Agustus tidak akan terjadi apa-apa. Nishimura menjawab sekenanya, "Haik", ya. Bung Karno menangkap peluang kenapa tidak memanfaatkan saja jaminan itu, tapi karena kelewat semangat bicaranya tersendat-sendat. Bung Hatta mencoba menjelaskan maksud Bung Karno dengan pelan-pelan. Tentu saja Nishimura berteriak,"Tidak, tidak." Maeda mencium bau alkohol dari mulut sang jenderal. Setelah 2 jam tanpa keputusan, Bung Karno berbicara seperti ini,"Baiklah, begini saja. Kalau kami akan memproklamasikan kemerdekaan, biarlah itu menjadi urusan internal kami sendiri. Jepang tidak perlu ikut campur, anggap saja situasi ini di luar pengawasan Jepang." Nishimura menjawab, "Kalau kami tahu, kami pasti akan menolak. Kalau kami setuju, berarti kami tidak melakukan kewajiban kepada Sekutu." Bung Karno mengartikannya bahwa secara tidak langsung Jepang akan cuci tangan segala perkara yang akan terjadi. Jepang sudah masuk perangkap, mungkin begitu batin Bung Karno saat itu. Sementara itu, di rumah Maruto tempat berkumpul Chaerul Saleh dan teman-teman, datanglah Mr. Iwa Kusuma Sumantri memberitahukan bahwa di rumah Maeda mulai berkumpul para anggota PPKI. Tampaknya, Subardjo (mungkin juga ide Nishijima dan Yoshizumi, Kepala Seksi Indonesia Dai Sanka) yang tidak ikut bertemu Nishimura berhasil membangunkan para anggota PPKI untuk datang ke rumah Maeda. Dia membujuk para pemuda supaya menyetujui pertemuan di rumah Maeda tersebut. Para pemuda tentu saja tidak setuju. Lagi-lagi mereka menyalahkan Wikana yang sudah membocorkan rahasia penculikan di Rengasdengklok itu. Beruntung, Sukarni datang bersama-sama Subardjo. Sukarni menjelaskan apa yang terjadi sepanjang hari itu. Subardjo juga memberi jaminan bahwa pertemuan di rumah Maeda semata-mata untuk menghindari gangguan Kempetai, karena hanya rumah Maeda-lah, sebagai Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut, yang tidak akan tersentuh oleh pihak Angkatan Darat. Para pemuda di situ akhirnya bisa memahami apa yang terjadi. Akhirnya mereka mengutus Chaerul Saleh dan Sukarni untuk mewakili golongan pemuda dalam pertemuan di rumah Maeda tersebut. Jam 03h00. Bung Karno, Bung Hatta dan Maeda kembali ke rumah Maeda. Saat sampai di rumah Maeda, betapa kagetnya Chaerul Saleh dan Sukarni ternyata di rumah Maeda sudah berkumpul banyak orang. Mereka menyesal karena ada di antara orang-orang itu yang tidak sepaham dengan para pemuda, kalau tahu begitu seluruh pemuda lebih baik datang ke sana, begitu sesal Chaerul Saleh dan Sukarni. Tapi sudah terlanjur. Jadi tercatat yang ada di sana adalah Bung Karno, Bung Hatta, Mr. Subardjo, dr. Mohammad Amir, dr. Boentaran Martoatmojo, Mr. I Goesti Ketut Poedja, Mr. A. Abbas, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Mr. Johanes Latoeharhary, Ki Bagoes Hadji Hadikoesoema, Mr. Teukoe Moehamad Hasan, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, dr. Radjiman Wedijodiningrat, Mr. Soetardjo Kartohadikoesoema, Dr. Soepomo, Soekardjo Wiryopranoto, Sam Ratulangi, Anang Abdoel Hamidhan, BM Diah, Andi Pangerang, Andi Sultan Daeng Radja, Semaun Bakri, Sudiro, Abikoesno Tjokrosoejoso, dr. Samsi Sastrowidagdo, Sukarni, Chaerul Saleh dan Sayuti Melik. Dalam pertemuan itu Chaerul Saleh menuntut proklamasi kemerdekaan secepatnya dan menolak pertemuan itu sebagai sidang anggota-anggota PPKI karena masih menganggap itu sebagai bentukan Jepang. Bung Karno menjawab, "Rapat itu adalah rapat wakil-wakil Bangsa Indonesia, bukan rapat PPKI. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diharapkan dan agar tidak memalukan bangsa kita, saya ingin mengajukan usul resolusi. Rapat inilah yang akan mengambil dan memutuskan resolusi itu, sedangkan PPKI bertugas untuk kelak kemudian melaksanakannya." Menurut catatan Nishijima, dr Radjiman yang duduk di sampingnya sempat berbisik, "Apakah Anda telah mendapat persetujuan Panglima Tertinggi ?" Tampaknya tokoh tertua ini masih bimbang dengan situasi yang muncul malam itu. Pada awal rapat, tampaknya Maeda, Yoshizumi dan Nishijima masih sempat ikut pertemuan di meja bundar di ruang makan. Kemudian malah menelepon Angkatan Darat untuk datang, demikian juga diteleponlah Saito, dari departemen luar negeri. Tapi mereka menolak datang karena tidak mau bertanggung jawab. Akhirnya datang Kolonel Miyoshi yang datang dalam keadaan setengah mabuk. Maeda sempat berpesan bahwa orang Jepang jelas simpati dan mendukung kemerdekaan Indonesia, tapi mereka tidak mau membahayakan diri mereka sendiri. Setelah itu Maeda meninggalkan rapat untuk tidur sambil sebelumnya mempersilakan mereka bersidang sendiri. Dalam catatannya Nishijima menulis, Jepang memang menyiapkan Indonesia untuk mengatur pemerintahan sendiri, tapi situasi sekarang sedang vakum. Kalau ada pengalihan kekuasaan oleh pihak Indonesia, itu adalah urusan internal Indonesia sendiri dengan Belanda, tidak ada hubungannya dengan Jepang. Sepeninggal Maeda, terjadi diskusi alot. Sukarni mengusulkan istilah revolusioner "merebut kekuasaan". Tapi karena dianggap memicu prasangka ingin merebut senjata dari tangan pasukan Jepang, akhirnya mayoritas menyetujui istilah "pemindahan kekuasaan". Bung Karno, Bung Hatta, Sukarni, Subardjo, BM Diah dan Sayuti Melik berada di meja makan untuk mulai menulis teks proklamasi. Bung Karno menulis rancangan teks dengan pensil di atas sehelai kertas, diberi judul Maklumat Kemerdekaan, tapi kemudian diganti dengan Proklamasi Kemerdekaan. Bung Hatta kemudian mendiktekan bunyi proklamasi tersebut, beberapa kali semua yang hadir memperdebatkan calon teks yang dipilih tersebut. Akhirnya selesailah rancangan teks itu. [caption id="attachment_228699" align="aligncenter" width="300" caption="Draft proklamasi"][/caption] Selanjutnya Bung Karno menghendaki semua yang hadir di situ turut menandatanganinya sebagai wakil-wakil seluruh rakyat Indonesia dari segala penjuru tanah air. Mungkin Bung Karno ingin seperti Independence Declaration-nya Amerika Serikat. Tapi Chaerul Saleh dan Sukarni menolaknya karena menganggap sebagian dari orang-orang tua itu adalah pejabat kolonial, bahkan masih ada yang belum jelas posisinya di pihak Indonesia. Sukarni mengusulkan 6 nama saja (para pemuda kemudian hari mereka-reka siapa 6 orang pilihan Sukarni tersebut, mungkin Bung Karno, Bung Hatta, Radjiman sebagai yang tertua, Sukarni dan Chaerul Saleh yang termuda, lalu Iwa Kusuma Sumantri). Sebenarnya banyak juga yang menolak untuk ikut tanda tangan, mungkin saja masih ada yang berpikir ulang tentang keselamatannya apakah revolusi Indonesia ini nantinya berhasil atau tidak. Bung Hatta menggerutu,"Diberi kesempatan membuat sejarah kok nggak mau." Akhirnya Chaerul Saleh menyudahi perdebatan, "Sudahlah Bung. Cukup Bung Karno dan Bung Hatta saja yang menandatangani proklamasi itu atas nama Indonesia." Semua setuju, Bung Karno menyerahkan rancangan itu kepada Sayuti Melik untuk diketik. Ada perubahan lagi, kata "tempoh" diganti menjadi "tempo", "wakil-wakil Bangsa Indonesia" diganti "atas nama Rakyat Indonesia", demikian juga tahun-nya akhirnya mengikuti kalender Jepang. [caption id="attachment_228700" align="aligncenter" width="300" caption="Teks proklamasi"][/caption] Setelah diketik, Bung Karno dan Bung Hatta menandatanganinya. Sempat rancangan teks dibuang ke tempat sampah. Untung BM Diah akhirnya memungutnya. Tanggal 29 Mei 1992, rancangan tersebut diserahkannya kepada pemerintah. Lewat pukul 04h00. Naskah proklamasi sudah berhasil dirumuskan, diketik dan ditandatangani. Para tamu sudah pulang satu per satu. Mereka akan kembali berkumpul nanti siang jam 10h00 di Jalan Pegangsaan Timur 56, rumah Bung Karno. Sementara Bung Karno mengambil makanan di dapur untuk sahur lalu memakannya di luar. Bung Hatta mengambil sarden di dapur lalu mencampurnya dengan telur untuk dimasak sebagai lauk makan sahur pagi itu. Kemudian dia menyusul Bung Karno untuk menemaninya makan sahur. Pukul 05h00, Maeda turun dari lantai 2 rumahnya. Masih ada dua tiga orang yang duduk-duduk di ruang tamu. Ia mengambil minuman sambil mengedarkan makanan kecil ke tamu-tamu yang letih. Dengan bombastis, saya kutipkan di sini tulisan TEMPO mengenai ingatan Maeda saat itu: ia melihat fajar merekah. Pantulannya memancarkan warna ungu dan merah jambu di dedaunan, lalu 8 anjing peliharaannya berlarian menyapu embun di hamparan rumput. (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 17 Agustus 2010, 65 tahun sesudah kisah nyata di atas terjadi) Bahan Pustaka: 1. Her Suganda, Rengasdengklok: Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945, Penerbit buku KOMPAS, Jakarta, Agustus 2009. 2. A.M. Hanafi, Menteng 31: Membangun Jembatan Dua Angkatan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997. 3. Aiko Kurasawa, Bung Karno di Bawah Bendera Jepang, Edisi khusus KOMPAS, 100 tahun Bung Karno, Kompas Jumat, 1 Juni 2001. 4. Cindy Adams, Bung Karno penyambung lidah rakyat Indonesia, Jakarta, 2000 5. http://rubijanto.wordpress.com/2009/11/29/bangsaku-bergerak/ 6. Daud Sinjal, AB Kusuma, Maeda, Lalu Kita Merdeka, Majalah Tempo edisi 19 Agustus 2001
Serial terkait:
1. 16 Agustus 1945 (setengah hari kedua)
2. 16 Agustus 1945 (setengah hari pertama)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H