Saya pikir ini saatnya saya memperkenalkan beberapa tokoh non fiksi yang secara langsung terlibat dalam kehebohan menjelang proklamasi kemerdekaan. Tidak secara detail sih, hanya secara umum saja supaya Anda bisa menangkap hubungan antar mereka, satu sama lain. [caption id="attachment_226485" align="aligncenter" width="197" caption="Laksamana Tadashi Maeda (sumber: Laksamana Tadashi Maeda (sumber: www.rosodaras.wordpress.com)"][/caption]
Perkenalkan, Laksamana Muda Tadashi Maeda. Maeda saat itu masih berumur 47 tahun (lebih tua sedikit dari Bung Karno yang 44 tahun dan Bung Hatta yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke 43 pada tanggal 12 Agustus, 3 hari sebelumnya saat masih di Saigon) adalah Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut dengan Angkatan Darat di Jakarta. Sejak Januari 1943, dia mendapatkan tugas dari komandannya, yaitu Panglima Armada 2 Selatan di Surabaya untuk membina hubungan dengan kepemimpinan nasional Indonesia melalui operasi khusus yang dikendalikan oleh Dai Sanka (Departemen 3) Kantor Penghubung.
Sekedar info, Panglima Armada 2 Surabaya memang punya visi masa depan untuk membina hubungan baik antara Jepang dengan Indonesia yang diprediksi cepat atau lambat pasti akan merdeka. Untuk itu dipilihlah Maeda dalam tugas ini, mengingat dia pernah menjadi perwira hubungan luar negeri dan Atase AL di Belanda serta berpengalaman dalam misi Jepang ke berbagai negara. Usut punya usut, secara pribadi Maeda memang bersimpati kepada perjuangan Indonesia. Kok tahu ? Saya akan ceritakan di akhir serial Agustusan ini.
[caption id="attachment_226487" align="aligncenter" width="200" caption="Mr. Ahmad Subardjo (sumber: www.serbasejarah.wordpress.com)"][/caption]
Dalam menjalankan tugasnya Maeda membentuk Kantor BEPANG (intelijen Jepang ?!) yang berkantor di Kebon Sirih Jakarta. Kantor ini dikepalai oleh Mr. Subardjo. Walaupun sebagai aktivis muda politik, secara resmi Sudiro dan Wikana adalah para pegawai Mr. Subardjo di kantor tersebut. Mr. Subardjo juga merekrut AM Hanafi untuk bekerja di kantornya dalam urusan PETA yang dinamakan Gunseikanbu Sidobu. Di bagian ini bekerja pula Haji Agus Salim yang bertindak sebagai Ketua Penasehat Jawatan. Dalam jawatan ini bekerja pula beberapa perwira PETA yaitu Kemal Idris, Zulkifli Lubis, Otto Djajasuntara dan Daantje Mogot. Banyaknya aktivis kemerdekaan berasal dari kantor ini sehingga mereka dijuluki sebagai Kelompok Pemuda Kaigun. Dasar aktivis, sejak menyambut Bung Karno tanggal 14 Agustus 1945, AM Hanafi sudah tidak pernah lagi masuk kantor dan terlarut dalam gelora revolusi yang membara. Padahal saat itu dia sudah punya 2 anak lho he..he... Mr. Subardjo memanfaatkan posisinya untuk membentuk Asrama Indonesia Merdeka dengan sepengetahuan Maeda. Wikana ditugaskan untuk mengepalai asrama ini.
[caption id="attachment_226488" align="aligncenter" width="227" caption="Wikana (sumber: www.id.wikipedia.org)"][/caption]
Saat itu ada beberapa kelompok pemuda pergerakan yang biasanya mengelompok karena ada kesamaan pekerjaan, latar belakang pendidikan atau pun pandangan ideologi. Selain kelompok di atas, sebagai contoh lain adalah yang sering dijuluki Grup Pemuda Sjahrir. Dalam kelompok inilah Subadio Sastrosatomo dan Subianto Djojohadikusumo (paman Prabowo Subianto) biasa berdiskusi. Juga ada Kelompok Mahasiswa Kedokteran Ika Daigaku yang berasrama di Prapatan 10, bisa disebut di sini misalnya Alizar Thaib, Djohan Nur, Eri Sudewo, Nasrun Iskandar, Piet Mamahit dan MT Haryono.
Ada juga Sukarni, pemuda pemberani yang dikenal suka tawuran, bersama-sama Adam Malik dia bekerja di Kantor Berita Domei. Demikian pula dengan Chaerul Saleh dan Sayuti Melik yang bekerja di Jawatan Penerangan atau Sendenbu. Isteri Sayuti Melik yang bernama SK Trimurti saat itu adalah sekretaris pribadi Bung Karno. Ada juga Darwis dan DN Aidit yang tercatat cukup aktif dalam masa-masa revolusi itu. Beberapa dari nama di atas adalah alumni pendidikan politik oleh Bung Karno dan tokoh-tokoh yang lain saat mereka masih diijinkan tinggal di Menteng 31 (sekarang Gedung Joang 45), sehingga sering mereka disebut Grup Menteng 31.
[caption id="attachment_226496" align="aligncenter" width="186" caption="Adam Malik (sumber: www.dpr-ri.org)"][/caption]
Saya kira cukuplah saya memperkenalkan para tokoh kita ini. Di akhir serial ini nanti saya akan coba menyuguhkan kepada Anda kisah tentang akhir hidup beberapa pahlawan kita itu.
15 Agustus 1945. Sejarah mencatat bahwa pada hari inilah Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Jauh dari Tokyo, yaitu di Jakarta, mulai terjadi perkembangan yang menarik. Sesuai dengan janjinya kepada Sjahrir sehari sebelumnya, pagi itu Bung Karno dan Bung Hatta sambil mengajak Mr. Subardjo pergi ke Markas Gunseikanbu. Kantor tersebut ternyata kosong, karena semua pejabatnya dipanggil ke Gunseireibu, Markas Besar Angkatan Perang. Mereka bertiga tampak heran dengan situasi yang terjadi di markas itu.
Akhirnya diputuskanlah untuk menjumpai Maeda, atasan Subardjo, menanyakan perkara yang sedang terjadi. Beruntung Laksamana Muda Maeda masih ada di kantornya. Bung Karno memberanikan diri untuk menanyakan apakah benar berita yang mengabarkan bahwa Jepang sudah menyerah kepada Sekutu. Dengan wajah sedih, Maeda menjawab bahwa seperti itulah berita yang baru saja disiarkan oleh radio Sekutu. Tapi karena belum ada berita resmi dari Tokyo, Maeda belum bisa memastikan kebenaran berita tersebut. Ketiganya kemudian meninggalkan kantor Maeda.
Dalam perjalanan pulang, mereka sependapat bahwa Jepang memang benar-benar telah menyerah. Karena itulah Bung Hatta mengusulkan supaya anggota PPKI segera bertemu untuk rapat pada tanggal 16 Agustus 1945. Bung Karno setuju dengan usulan tersebut. Lalu Bung Hatta meminta Subardjo untuk segera memberitahukan kepada seluruh anggota PPKI yang sudah hadir di Jakarta dan sedang menginap di Hotel Des Indes Harmoni untuk datang besok pagi jam 10 di Kantor Dewan Sanyo Kaigi di Pejambon (sekarang Gedung Pancasila di kompleks Kementerian Luar negeri Pejambon, gambar di bawah). Akhirnya mereka pulang masing-masing ke rumahnya.
Sementara di tempat lain, Subadio Sastrosatomo setelah capek berkeliling Jakarta dalam kondisi lapar karena puasa kembali mendatangi rumah Sjahrir. Sjahrir menyatakan bahwa dia sangat marah kepada Bung Karno karena tidak mempercayainya kalau Jepang sudah benar-benar menyerah. Dalam hati Subadio merencanakan ingin pergi ke rumah Bung Hatta menjelang buka puasa, siapa tahu Bung Hatta akan luluh hatinya untuk mengikuti rencana Sjahrir.
Hotel Des Indes Harmonie sebelum dirobohkan. (sumber: www.indonesiatravelling.com)
Sementara matahari di atas Jakarta masih menyala dengan teriknya, cuma sekarang mulai beranjak ke ufuk barat. Memulai malam yang akan terasa panjang.
(Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 15 Agustus 2010, 65 tahun sesudah kisah nyata di atas terjadi)
Bahan Pustaka:
- Her Suganda, Rengasdengklok: Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945, Penerbit buku KOMPAS, Jakarta, Agustus 2009.
- A.M. Hanafi, Menteng 31: Membangun Jembatan Dua Angkatan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997.
- Aiko Kurasawa, Bung Karno di Bawah Bendera Jepang, Edisi khusus KOMPAS, 100 tahun Bung Karno, Kompas Jumat, 1 Juni 2001.
- Cindy Adams, Bung Karno penyambung lidah rakyat Indonesia, Jakarta, 2000
- http://rubijanto.wordpress.com/2009/11/29/bangsaku-bergerak/
- Daud Sinjal, AB Kusuma, Maeda, Lalu Kita Merdeka, Majalah Tempo edisi 19 Agustus 2001
Serial Agustusan terkait:
[caption id="attachment_226515" align="aligncenter" width="300" caption="Hotel Des Indes Masa Hindia Belanda (sumber: www.engelfriet.net)"][/caption] [caption id="attachment_226502" align="aligncenter" width="276" caption="Gedung Pancasila sekarang (sumber: www.deplu.go.id)"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H