Setelah pada serial-1 saya mengulas tentang salah satu merek Indonesia untuk barang-barang elektronika yang sudah mampu bertahan selama 35 tahun, kali ini saya akan membagikan kepada Anda salah satu merek asli Indonesia yang sanggup bertahan cukup lama. Inilah jamu Cap Potret Nyonya Meneer. Untuk produk jamu memang banyak merek asli Indonesia, saya akan menuliskan masing-masing dari merek tersebut kelak sebagai bagian dari serial tulisan ini. Cuma karena sekarang literatur referensi yang tersedia baru untuk Nyonya Meneer, maka untuk serial ke 2 ini ijinkan saya membagikan kisah tentang merek yang satu ini dulu. Saya dilahirkan tahun 1970-an di Kediri, sebuah kota kecil di Jawa Timur. Dan sudah jamak saat itu orang lebih memilih minum jamu ketimbang harus pergi ke dokter puskesmas lalu meminum obat dari sana. Nah, dalam kondisi begini, saya pun akhirnya sering diajak bapak atau ibu ke warung-warung jamu untuk membeli sekaligus minum jamu di sana. Sebelumnya saya sudah lama menyimpan pertanyaan siapakah ibu yang potretnya banyak bertebaran di warung-warung jamu itu. Saya sempat mengira betapa kayanya ibu itu sampai semua warung jamu dipunyai oleh dia he..he.... Bahkan waktu itu seringkali banyak teka-teki guyonan, selain Ibu Kartini siapakah pahlawan wanita yang gambarnya banyak dipajang orang. Setelah bisa membaca di awal tahun 1980, saya baru mengerti kalau potret itu adalah salah satu merek jamu, yaitu Jamu Cap Potret Nyonya Meneer. Dan inilah potret pahlawan wanita yang banyak dipajang selain Ibu Kartini, ya Nyonya Meneer itu he..he... Potret yang ada di bungkus jamu tersebut adalah Nyonya Meneer (Lau Ping No), seorang wanita Tionghoa yang menikah dengan pria Surabaya dan tinggal di Semarang. Menurut wikipedia, Nyonya Meneer ini lahir di Sidoarjo tahun 1895 dan meninggal pada tahun 1978. Konon, sang ibu saat mengandung Lau Ping No mengidam untuk makan beras menir, yaitu sisa butir halus beras hasil penumbukan padi. Karena alasan itulah kemudian Lau Ping No sering dipanggil Meneer, logat Belanda untuk menir. Pada tahun 1900-an, sang suami jatuh sakit dan setelah berusaha ke sana ke mari, akhirnya Nyonya Meneer memilih untuk membuat jamu sendiri berdasarkan pengetahuan yang dia punyai mengenai ramuan jamu Jawa dari tumbuh-tumbuhan. Jamu tersebut ternyata cukup berkhasiat sehingga suaminya bisa sembuh dari sakitnya. Ramuan Nyonya Meneer yang berkhasiat itu ternyata tersebar di beberapa tetangganya dan sejak itulah Nyonya Meneer dengan senang hati membantu tetangga-tetangganya dengan ramuan jamunya tersebut. Karena permintaan jamunya semakin banyak dan kadang permintaan tersebut dari tempat yang cukup jauh dari Semarang akhirnya masalah baru pun muncul. Pelanggan tersebut tidak mau menerima atau membayar jamu yang tidak diantar sendiri oleh Nyonya Meneer karena takut kalau jamu tersebut palsu. Akhirnya muncullah akal, Nyonya Meneer menjual jamunya tersebut dengan kemasan yang diberi gambar potretnya tersebut supaya yang meminumnya yakin bahwa jamu tersebut adalah asli ramuan Nyonya Meneer sendiri. Tahun 1919, keluarga Nyonya Meneer akhirnya mendirikan perusahaan "Jamu Jawa Asli Cap Portret Nyonya Meneer" di Semarang, lengkap dengan tokonya di Jalan Pedamaran 92 Semarang. Tahun 1940, salah seorang putrinya, Nonnie, merantau ke Batavia. Dan kemudian dibukalah toko jamu di Jalan Juanda, Pasar Baru Jakarta. Dari sinilah jamu Nyonya Meneer semakin dikenal di Jakarta. Sementara itu, Nyonya Meneer tetap menjalankan perusahaannya di Semarang, dibantu oleh anaknya Hans Rumana. Tahun 1976, Hans Rumana meninggal. Dan kemudian Nyonya Meneer meninggal juga pada tahun 1978 dengan mewariskan pabrik jamu seluas 9.980 m2 yang dilengkapi pula dengan laboratorium beserta kantor yang berdiri terpisah. Perusahaan jamu tersebut akhirnya dikelola bersama oleh kelima cucunya. 18 Januari 1984, diresmikanlah Museum Jamu Nyonya Meneer. Menempati lantai 2 bangunan utama pabrik, museum ini dinobatkan sebagai museum jamu pertama di Indonesia. Sebagaimana biasa terjadi di dalam perusahaan keluarga, konflik juga terjadi di dalam tubuh perusahaan ini dari tahun 1980-an sampai tahun 2000-an yang merembet kepada banyaknya masalah kepegawaian yang terjadi. Sang menteri tenaga kerja Cosmas Batubara sampai harus turun tangan membantu mencarikan jalan keluar dari kemelut itu karena akan berimbas pada ribuan buruh yang bekerja di sana. Untungnya di tahun 1990 konflik itu berakhir. Charles Ong Saerang; sang cucu Nyonya Meneer yang dipanggil pulang setelah mengantongi gelar doktor filsafat pemasaran di Universitas Kensington, California, Amerika Serikat; akhirnya mendapatkan kepercayaan dari 4 saudaranya yang lain untuk meneruskan perusahaan warisan sang nenek ini. Di dalam wawancaranya di Media Indonesia 15 Februari 2010, Charles Saerang berkata bahwa terus terang mulai saat itulah dia baru menyadari harus bekerja dengan sungguh-sungguh untuk menyelamatkan warisan berharga ini termasuk menyelamatkan ribuan buruh beserta keluarga yang menggantungkan hidupnya dari perusahaan jamu ini. "Mau tidak mau saya ubah gaya hidup saya dari yang main-main, ke disko, santai-santai, menjadi saya harus stay at home dan mencari info. Dan ternyata benar, kebiasaan menentukan kita ke depan." Tantangan itu dijawab Charles Saerang dengan berusaha keras memperbaiki kinerja perusahaannya. Tahun 2000, jamu Nyonya Meneer membuat prestasi dengan meluncurkan produk fitofarmaka (obat herbal yang sudah lulus uji klinis) bermerek Rheumaneer. Ini sebuah prestasi karena Jamu Nyonya Meneer adalah satu-satunya perusahaan jamu dari 5 perusahaan (4 lainnya adalah perusahaan farmasi) yang boleh mengeluarkan produk fitofarmaka. Konon, produk ini adalah hasil riset selama 8 tahun yang menghabiskan dana 3 milyar rupiah. Sejak di tangan Charles Saerang, jamu Nyonya Meneer juga bisa menembus pasar ekspor di Singapura, Malaysia, Arab Saudi, Amerika Serikat, Taiwan dan Australia. Kalau ada teman-teman Kompasianer yang tinggal di negara-negara tersebut silakan untuk mengkonfirmasi kebenaran informasi ini ya. Charles Saerang, saat ini didaulat menjadi ketua umum Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia (GP Jamu). Membaca ide-idenya yang terserak di beberapa media massa, ada beberapa hal yang masih menjadi impiannya. Jamu tradisional Indonesia haruslah menjadi tuan di rumahnya sendiri. Untuk itu, pemerintah melalui BPOM juga harus mendukung program sertifikasi jamu-jamu tradisional supaya bisa bersaing di tengah gempuran jamu dari Cina, Taiwan dan Amerika Serikat. Satu hal yang mungkin bisa menjadi tantangan bagi teman-teman mahasiswa, ke depan diharapkan industri jamu akan memanfaat nanoteknologi untuk sistem ekstrasinya, seperti yang sudah dikuasai Korea Selatan dalam produksi jamu dari ekstrak temu lawaknya. Sekedar cerita, saya menikah dengan seorang gadis keturunan Tionghoa. Setelah menikah, saya pun diajak ke Bangkalan Madura untuk diperkenalkan dengan keluarga besarnya di daerah Pecinan di sana. Saya sempat heran saat memasuki sebuah rumah sederhana karena beberapa meter dari luar rumah saya sudah mencium bau jamu. Setelah masuk ternyata di dalamnya banyak batang-batang kayu dan kulit-kulit kayu di mana ternyata dari situlah bau jamu berasal. Itulah warung jamu dari salah satu tante istri saya. Dari batang-batang kayu itulah tante kami membuat ramuan jamu tradisional yang dijualnya di warung tersebut. Sejak itulah jamu menjadi bagian dari hidup kami. Kami sering memesan jamu dari tante untuk konsumsi kami sekeluarga. Jamu untuk kewanitaan, jamu saat istri saya hamil, jamu saat istri saya melahirkan, jamu saat istri saya menyusui, jamu untuk saya dan anak-anak, juga jamu untuk urusan orang dewasa he..he..Praktis, anak-anak saya adalah produk langsung dari jamu, dan demikian pula sekarang kami membesarkannya, dengan jamu pula. Dan tampaknya sampai sekarang mereka oke-oke juga tuh. Bagaimana dengan Anda ? Catatan penulis: Bulan Februari lalu saat kami berkunjung ke Gramedia Balikpapan, kami melihat ada tumpukan buku yang ternyata sedang diobral murah. Seperti biasa, insting saya selalu bergerak cepat setiap kali tahu ada obral buku murah he..he... Dan benar, ada sebuah buku yang lumyan bagus. Judulnya Asal-Usul Merek, diterjemahkan dari The Origin of Brands tulisan dari Al dan Laura Ries, konsultan pemasaran terkenal dari Atalanta, Amerika Serikat. Buku ini sangat menarik. Saya yang bukan berlatarbelakang ekonomi saja sangat menikmati buku ini. Saya jadi tahu bagaimana perjuangan dan pasang surutnya sebuah merek dibangun. Selesai membaca buku ini, saya mendapat insipirasi untuk mendokumentasikan merek-merek asli Indonesia yang selama ini sudah berkibar di tanah air. Tidak ada maksud tulisan ini sebagai media iklan sebagaimana yang dilarang di Kompasiana dan saya juga tidak mendapatkan imbalan apapun dari serial tulisan ini. Tulisan ini sekedar sebagai penanda bahwa di tengah gempuran produk-produk asing, kita sebenarnya memiliki produk dengan merek yang sudah lama dibangun. Semoga nasionalisme kita bangkit dengan memilih menggunakan produk dalam negeri. Salam.
Referensi dan sumber foto:
- http://id.wikipedia.org/wiki/Jamu_Cap_Potret_Nyonya_Meneer
- Media Indonesia, edisi Senin 15 Februari 2010 halaman 16
- http://www.suaramerdeka.com/harian/0708/30/eko02.htm
- http://pseudodiskom.wordpress.com/2009/06/28/jamu-nyonya-meneer/
- www.nyonyameneer.com
- http://menteridesain indonesia.blogspot.com
Yang terkait serial Brands of Indonesia:
1. Brands of Indonesia-1: Polytron
(Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 11 Mei 2010)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H