Lihat ke Halaman Asli

Berlatih Senjata Sumpit Suku Dayak

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hampir 5 tahun sudah saya tinggal di Balikpapan. Obsesi saya sejak bermigrasi ke sini adalah untuk menikmati interaksi dengan kehidupan budaya Suku Dayak. Dan itu cukup sulit, karena faktanya Suku Dayak bukanlah mayoritas di kota Balikpapan sini. Suku Dayak Pasir sebagai penduduk asli wilayah Balikpapan memang sudah lama tidak bermukim di wilayah pantai, mereka bermigrasi ke wilayah pedalaman digantikan oleh suku-suku lain yang memang berkarakter sebagai penduduk pesisir. Kalau mau menikmati interaksi dengan komunitas Dayak, kita harus pergi ke wilayah utara, di daerah Loa Janan (wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara), Bontang atau malah ke hulu Sungai Mahakam sekalian untuk bersilaturahmi dengan komunitas Suku Dayak Kenyah. Dan itu perlu biaya tinggi dan waktu yang lumayan panjang (paling tidak seminggu) karena harus menyewa kapal dan beberapa perahu untuk bisa sampai ke hulu Mahakam. Mungkin suatu kali kelak rekan-rekan Kompasioner ada yang tertarik bersama saya untuk menjalankan ekspedisi tersebut ?Bersyukurlah bahwa rekan-rekan dari Suku Dayak di Balikpapan masih bersemangat melestarikan tradisi dan budaya Dayak di kota ini. Beberapa perusahaan asing di sini juga bersemangat untuk mengundang komunitas Dayak dalam beberapa pergelaran budaya yang mereka selenggarakan. Berdasarkan penuturan seorang sesepuh Dayak, beberapa anak muda Dayak masih bersemangat untuk berkumpul di Dewan Kesenian Balikpapan untuk melatih diri berkesenian secara rutin. Akhirnya saat yang kami nantikan muncul juga. Untuk merayakan ulang tahun Balikpapan ke 113, pada tanggal 21 Februari 2010 diadakan acara Kampoeng Seni di areal Monumen Perjuangan Rakyat Balikpapan. Beberapa acara seni termasuk festival band, lomba baca puisi, lomba melukis keramik diadakan. Dan yang istimewa, panitia melibatkan komunitas Dayak dan Jawa untuk mempertunjukkan tradisi budayanya. Khusus untuk tulisan pertama ini saya akan melaporkan mengenai tradisi Dayak di acara Kampoeng Seni ini, moga-moga di tulisan berikutnya saya bisa menuliskan tentang pergelaran seni tradisi dari komunitas Jawa. Pergelaran pertama yang ditampilkan pada hari Minggu yang terik saat itu adalah sendratari mengenai legenda Suku Dayak Beliaq yang sangat menarik. Menampilkan tarian dikombinasikan dengan permainan senjata mandau, anak-anak muda Dayak ini terlihat begitu bersemangat. Terus terang saya kurang mengerti alur ceritanya he..he...harap maklum karena saat sang MC menjelaskan alur ceritanya saya dimintai tolong isteri tercinta untuk mengambil payung yang sangat dibutuhkannya menghadapi matahari yang terik saat itu. Babak pertama dari sendratari ini dimulai dengan adegan saat beberapa pria Dayak berlatih perang dengan menggunakan Mandau. Beberapa kali ada adegan melempar mandau di antara para pemain, sangat berbahaya kalau meleset sehingga para penonton diminta mundur agak menjauh dari panggung. Adegan berikutnya adalah saat beberapa gadis menari dengan indahnya. Bahkan di beberapa adegannya mereka menari di atas nampan yang ada pecahan beling di dalamnya. Tapi kakinya tetap tidak berdarah. Adegan selanjutnya mulai menuju klimaksnya. Suasana magis dibangun dengan munculnya para sesepuh Dayak di tepi panggung, lengkap dengan topeng khas Dayak dan juga tombaknya. Ternyata itu adegan perang yang seru antar 2 satria, yang berakhir kematian salah seorang di antaranya. Yang menarik, jenasah satria yang tewas dalam pertempuran ditempatkan di atas daun nipah kering lengkap dengan durinya yang tajam. Cerita kemudian diakhiri dengan hidup kembalinya satria yang sudah tewas tersebut. Menarik bahwa punggung sang pemain tidak terluka atau berdarah sedikitpun walau sudah rebah di atas duri nipah yang tajam. Sendratari pun berakhir dengan tepuk tangan meriah dari para penonton, termasuk saya dan anak-anak. Selanjutnya kami menikmati tradisi Dayak di stand komunitas adat dayak. Terdengarlah alunan khas musik dari sebuah kecapi Dayak yang dimainkan. Kami juga bisa melihat dari dekat topeng adat Dayak yang menyimpan kesan misteri itu. Untuk menjaga respek dan hormat kepada tradisi Dayak, beberapa penonton diminta untuk tidak berdiri membelakangi topeng tersebut. Entah kenapa. Juga ditampilkan tarian Dayak dengan mengenakan topeng tersebut. tarian yang patah-patah, diiringi dengan alunan kecapi yang khas memberikan aroma magis pada tarian tersebut. Yang terakhir dan ini puncak pengalaman kami hari itu. Sang sesepuh adat Dayak mengumumkan bahwa dibuka kesempatan untuk berlatih menggunakan senjata sumpit Dayak dengan sasaran sejauh 15 meter. Perlu beberapa menit bagi sang sesepuh mengundang khalayak untuk mencobanya, tapi tidak ada seorangpun yang berani mencoba. Tampaknya mereka agak takut dan segan mengingat mitos Dayak yang magis tersebut. Akhirnya saya memulai dengan menjadi yang pertama mencobanya. Salah seorang tetua adat memberikan sumpitnya ke saya, cukup berat juga terbuat dari kayu berlubang dengan panjang kira-kira 1,5 meter. Sang tetua bilang, masukkan anak sumpit ke dalam, bidik sasaran di depan, pakailah nafas perut untuk menghembuskan anak sumpit itu. Tak disangka, anak sumpit melesat dengan cepat ke sasaran. Pada latihan yang keempat, anak sumpit saya sudah berhasil mencapai poin 9 dari sasaran tembaknya. Lumayanlah untuk seorang pemula seperti saya he..he... Isteri saya kemudian juga tidak tahan untuk mencobanya. Walaupun perempuan, ternyata anak sumpit yang ditiupkan isteri bisa mencapai 15 meter juga walaupun tidak mengenai tepat di sasaran. Sang tetua adat berkata kalau di kondisi sebenarnya, sumpit bisa digunakan untuk menembak sampai jarak 50 meter. Dan itupun bisa menewaskan binatang buruan. Saya respek dengan tradisi ini. Saya jadi mengerti kenapa bagi seorang anggota marinir, Kopasus ataupun Tontaipur menggunakan senjata sumpit adalah salah satu ketrampilan yang harus dikuasai. Bayangkan, dalam kesenyapan mereka bisa membunuh musuh dengan sumpit ini. Saya bersyukur bisa berlatih menggunakan sumpit hari itu. Pengalaman yang jarang bisa datang dua kali. Foto: Koleksi pribadi (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 6 April 2010)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline