Kalau dulu saya seringkali terkantuk-kantuk kala mendengar musik tradisional, sekarang sudah lain, saya jadi bisa menikmati musik tradisional bahkan sudah hampir pada level fanatik. Musik tradisional apa saja, mulai gamelan Jawa, degung Sunda, kecapi Dayak, gamelan Bali, angklung, kolintang dan segala macam jenis perkusi. Sebenarnya ada pencetusnya kenapa sekarang saya menyukai musik tradisional. Yang pertama kemungkinan adalah perubahan hormonal saya yang sudah melewati umur 30 tahun. Pencetus yang kedua adalah klaim Malaysia beberapa tahun yang lalu. Dan pencetus ketiga muncul ketika saya berkelana di beberapa negara Eropa 3 tahun yang lalu. Kala menyaksikan negara-negara maju dengan bangunan-bangunan masa lalu yang begitu megah tetapi hanya mempunyai musik hip-hop, saya terkenang dengan negeri sendiri yang begitu kaya dengan seni tradisi entah tarian, musik atau seni pertunjukan. Pencetus keempat adalah kala menyaksikan DVD konser Enya atau konser Celtic Woman, yang masih tekun mengusung musik tradisional Celtic dalam penampilannya bahkan beberapa lagunya masih menggunakan bahasa daerah setempat. Ternyata, Enya ataupun Celtic Woman tidak malu malah sudah menjadikan musik Celtic sebagai trade mark-nya.Bagaimana dengan Indonesia ? Sudah sejak 3 tahun lalu saya mengoleksi album Viky Sianipar yang juga tidak malu mengusung musik tradisional dalam setiap albumnya. Saya mengenal nama Viky Sianipar saat acara Liputan 6 SCTV mengangkat Viky sebagai pemuda yang getol mengangkat seni tradisi atau etnik dalam permainan musiknya. Saat itu saya menyaksikan bagaimana lagu Es Lilin begitu indah didengarkan saat dinyanyikan dengan aransemen baru khas Viky Sinaipar yang tetap mengusung musik Etnik Sunda hanya dipoles dengan aransemen yang lebih kontemporer, sekilas mirip dengan aliran musik Kitaro. Idealisme Viky Sianipar menghasilkan album dengan nuansa baru yang dia sebut sebagai world music. Sebagai kampanye penyelamatan Danau Toba, dia mengeluarkan 3 album yang dinamakan trilogi Toba Dream. Saya hanya mengoleksi album yang ketiganya. Dan saya begitu bangga saat lagu-lagu Batak seperti Sinanggar Tulo, Sigulempong atau Inang dinyanyikan dengan aransemen yang begitu berbeda dari sebelum-sebelumnya. Nuansa musik Gondang Batak begitu kental dalam aransemen lagu tema berjudul Toba Dream, menarik sekali. Viky Sianipar juga mengeluarkan mini album di mana hanya ada 3 lagu dalam setiap keping CD-nya. Harganya sangat murah, hanya Rp. 10 ribu setiap albumnya. Pada mini albumnya berjudul Bengawan Solo, Viky berkolaborasi dengan Sujiwo Tejo yang menyanyikan Bengawan Solo, Dara Muluk dan Swara Suling dengan suara khas dalangnya. Dalam aransemen kontemporer ini, Viky Sianipar memadukan rebab, gendang, gendang dan terbang Banyuwangi, gender dan suling Jawa dengan musik modern. Hasilnya, lagu-lagu lama itu terkesan modern dan tidak asing di telinga anak-anak muda seperti saya ini. Hal yang sama juga akan kita dengarkan saat mendengarkan 3 mini albumnya yang berisi lagu-lagu Batak, yaitu dalam mini album yang berjudul Ngarep Gestung Api Bas Lau, Tadingma Ham dan juga Nunga Lao. Sama seperti kala mendengar lagu berbahasa Inggris atau Celtic dalam lagu-lagunya Enya, yang bahkan saya tetap bisa menikmati walaupun tidak tahu pasti arti syairnya, hal yang sama juga saya alami saat mendengarkan lagu-lagu Batak. Walau nggak ngerti arti syairnya, saya tetap bisa menikmati alunan musik yang diaransemen begitu kreatif, megah tanpa meninggalkan nuansa Batak-nya. Nah, pada bulan lalu akhirnya saya menemukan album Viky Sianipar yang terakhir, judulnya Satu. Berbeda dengan album sebelumnya yang berbahasa daerah, album ini menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Tapi dalam aransemennya, Viky tetap konsisten menggunakan musik etnis dalam albumnya ini seperti kendang Sunda, terbang Banyuwangi dan suling Batak. Musik tradisi sangat kental dalam lagu Water is Life yang dengan apik mengkampanyekan pentingnya air sebagai sumber cinta dan sumber kehidupan. Benang merah dari tulisan saya mengenai Viky Sianipar ini adalah bahwa tidak perlu malu mengusung musik tradisional dalam bermusik. Seperti Enya atau Celtic Woman yang tidak malu mengusung musik tradisi Celtic, Viky demikian juga. Dan hasilnya tidak memalukan kok, malah membuat kita bangga bahwa musik tradisional pun bisa dikemas sedemikian rupa dalam balutan musik modern sehingga tidak terasa asing di telinga generasi muda yang mulai berpikir global ini. Karena itu pula dalam berbagai tulisan saya, saya sudah mengusulkan supaya ;tidak hanya musik Viky Sianipar, tapi juga musik seniman-seniman lain yang getol untuk mengangkat musik tradisional; musik tradisional dalam aransemen kontemporer ini diberikan tempat dalam ruang publik kita terutama ruang-ruang publik yang sering berhubungan dengan orang-orang asing. Bayangkan seandainya musik etnik seperti ini diperdengarkan sebagai welcoming onboard music di Garuda Indonesia, atau lobby music di hotel-hotel atau spa kita. Tentu orang-orang asing itu akan menangkap nuansa lain yang berbeda dengan musik di negerinya. Foto: koleksi pribadi (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 3 April 2010)
Artikel terkait:
1. http://sosbud.kompasiana.com/2009/09/02/sayang-saya-tidak-bisa-main-gamelan/
2. http://sosbud.kompasiana.com/2009/10/21/sayang-saya-tidak-bisa-main-gamelan-tulisan-2/
3. http://wisata.kompasiana.com/2010/03/15/ada-es-krim-di-garuda-indonesia/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H