Lihat ke Halaman Asli

Menemukan Tarsius

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah menyantap menu ikan bakar dalam seperempat perjalanan dari komplek Waruga di Sawangan Air Madidi ke Bitung kami pun akhirnya melanjutkan perjalanan ke tujuan terakhir kami pada hari itu, yaitu Taman Nasional Tangkoko.

 

Perjalanan dari Sawangan ke Taman Nasional Tangkoko bisa ditempuh dalam waktu kurang dari 2 jam. Anda pun tidak akan bosan dalam perjalanan karena pemandangan di kiri kanan jalan sangat indah. Di beberapa dusun Anda akan menemui banyak pohon kelapa yang berdiri kokoh di setiap lahan milik penduduk, sebuah pemandangan yang sudah jarang kita jumpai di Jawa. Akhirnya mobil kami melewati pelabuhan Bitung yang terlihat sibuk membongkar muat barang ke dan dari kapal. Itu berarti Taman Nasional Tangkoko sudah di depan mata.

 

Merunut sejarah, di Tangkoko inilah Alfred Russel Wallace menginjakkan kakinya di tahun 1850-an. Konon, ilmuwan besar ini terpesona dengan Maleo dan Babi Rusa. Sekedar informasi, dari penjelajahannya di Nusantara sekitar tahun 1850 sampai 1860-an, dia mengamati bahwa berdasarkan penyebaran satwa terdapat perbedaan besar antara India dengan Australia. Karena itulah Wallace membuat sebuat garis imajiner yang menjadi batas antara barat dan timur, yang dimulai dari selat antara Kalimantan dan Sulawesi, terus ke selatan di selat antara Bali dan Lombok. Garis imajiner inilah yang dikenal sebagai Garis Wallace, yang membedakan aneka satwa di sebelah barat maupun di sebelah timurnya. Kelak, surat-surat dan makalah yang dikirimkan Wallace ke Charles Darwin di Inggris, memacu Darwin untuk menulis Origin of Species sebagai cikal bakal teori evolusi.

 

Sedikit tips dari kami. Kalau Anda ingin mengunjungi Taman Nasional Tangkoko, lebih baik Anda sampai di sana setelah jam 3 sore. Karena pada jam-jam sore seperti ini akan lebih mudah bagi Anda kalau ingin bertemu Tarsius, primata terkecil di dunia itu. Sebenarnya tidak hanya Tarsius yang ada di taman nasional ini. Menurut catatan, ada 26 jenis mamalia, 180 jenis burung dan 15 jenis reptil dan amfibi.

 

Sesaat setelah kami masuk areal hutan, kami sudah disambut oleh Monyet Hitam Sulawesi atau Macaca Nigra atau Yaki dalam bahasa lokal. Anak-anak begitu gembira melihatnya, perlambang kami tidak akan sia-sia jauh-jauh menerobos hutan untuk mencari Tarsius. Sesampai di Pos, kami harus membayar tarif masuk berikut guide-nya. Kalau tidak salah tarifnya Rp 80 ribu per orang kalau Anda ingin diantar untuk bertemu Tarsius. Sementara kalau ingin diantar sampai ke puncaknya tarifnya adalah Rp 200 ribu..

 

Akhirnya masuklah kami berempat ke dalam hutan Tangkoko. Anak kedua kami saat itu yang berumur 1 tahun pun akhirnya harus digendong bergantian oleh saya dan isteri. Hutan di sini memang lebat. Beberapa kali berkelebat burung Rangkok atau Enggang terbang dengan mengepakkan sayapnya yang meninggalkan bunyi seperti helikopter militer Huey sedang melintas.

 

Setelah hampir 30 menit berjalan, pak penjaga hutan meminta kami untuk diam karena sudah mendekati pohon yang biasanya dihuni oleh keluarga Tarsius. Dan benar.......kami akhirnya menemukan Tarsius mungil yang lucu-lucu. Kedua anak kami, Laksmana dan Lentera, sangat senang bisa melihat dari dekat monyet terkecil ini.

 

 

 

Inilah Tarsius, dengan nama latinnya Tarsius Spectrum, satwa endemik Sulawesi yang tidak bakal Anda jumpai di pulau lain. Binatang ini termasuk binatang malam, yang terbiasa beroperasi mencari makan di keheningan malam. Makanannya adalah buah-buahan dan serangga-serangga kecil, biasanya hidup bergerombol di dalam lubang pohon.

 

Puas memandangi Tarsius dan mengambil gambarnya kami pun kembali pulang ke pos masuk. Ternyata rutenya berbeda saat kami masuk tadi, yaitu kami harus melewati Pantai Tangkoko yang terlihat indah dengan ciri khasnya pantai pasir berwarna hitam. Kami pun bermain-main sebentar untuk menikmati ombak dan pasirnya yang indah ini. Di kejauhan, tampak pulau Lembeh, yang mungkin pulau paling timur di Sulawesi Utara ini.

 

Cukup sudah kami berlelah hari Sabtu ini, kami harus kembali pulang ke Onong Palace. Itu pun masih dibumbui dengan adegan saat Si kecil Lentera menangis meraung-raung dan bahkan sempat muntah-muntah dalm perjalanan pulang. Sementara kakaknya, Laksmana, pada hari itu juga membaptis dirinya sebagai Si Bolang, Bocah Petualang, karena berhasil menembus Hutan Tangkoko untuk menemukan Tarsius.

 

 

(Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 10 Feb 2010)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline