Lihat ke Halaman Asli

Siapa Aku?

Diperbarui: 25 Oktober 2024   01:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Siapa Aku?
Oleh: [Yogiswara]

Pertanyaan "siapa aku?" adalah salah satu pertanyaan filsafat paling mendasar yang telah menggugah pemikiran manusia sejak zaman dahulu. Pertanyaan ini menyentuh pada esensi diri, identitas, kesadaran, dan hubungan kita dengan dunia sekitar. Dari filsuf Yunani Kuno hingga filsuf kontemporer, diskusi tentang "aku" melibatkan beragam pandangan, mulai dari aspek fisik, mental, hingga spiritual.


1. Kesadaran dan Eksistensi (Cogito, Ergo Sum):
Ren Descartes, seorang filsuf Prancis, terkenal dengan pernyataannya "Cogito, ergo sum" yang berarti "Aku berpikir, maka aku ada." Bagi Descartes, keraguan terhadap segala sesuatu, termasuk keberadaan dunia luar, membuatnya menemukan satu kepastian: bahwa ia berpikir, dan karena berpikir, maka ia ada. Dalam pandangan ini, "aku" adalah entitas yang berpikir, dan keberadaannya dibuktikan oleh kesadaran akan dirinya sendiri.


Namun, pertanyaan lebih lanjut muncul: apakah hanya melalui pemikiran kita dapat menentukan identitas kita? Bagaimana dengan aspek lain dari keberadaan kita, seperti tubuh fisik, perasaan, atau hubungan sosial?

2. Diri dan Tubuh: Dualisme dan Monisme:
Banyak filsuf sepanjang sejarah mempertanyakan hubungan antara "aku" sebagai kesadaran dan tubuh fisik yang kita huni. Dualisme, seperti yang diusulkan oleh Descartes, menyatakan bahwa pikiran dan tubuh adalah dua entitas yang terpisah. Dalam perspektif ini, pikiran atau jiwa adalah pusat dari identitas, sementara tubuh hanyalah kendaraan yang kita gunakan di dunia materi.

Sebaliknya, monisme, terutama dalam pandangan materialisme, menolak pemisahan ini. Filsuf materialis berpendapat bahwa "aku" tidak dapat dipisahkan dari tubuh fisik. Kesadaran, emosi, dan bahkan pikiran, semuanya dianggap sebagai hasil dari proses biologis dan neurologis di dalam otak. Dari sudut pandang ini, pertanyaan "siapa aku?" dijawab dengan memandang diri sebagai produk dari aktivitas materi.

3. Identitas Sosial: Aku dan Orang Lain:

Selain kesadaran dan tubuh, identitas kita juga dibentuk oleh interaksi sosial. Filsuf Jean-Paul Sartre mengemukakan bahwa identitas seseorang sebagian besar dibentuk oleh pandangan orang lain. Dalam karyanya Being and Nothingness, Sartre menjelaskan konsep "pandangan" atau the gaze---bahwa diri kita terbentuk melalui cara orang lain memandang kita.

Dalam konteks ini, "aku" adalah entitas yang terus menerus didefinisikan oleh hubungan sosialnya. Identitas kita, baik sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok sosial, dibentuk oleh norma-norma, harapan, dan persepsi orang lain. Hal ini menciptakan dilema eksistensial: seberapa jauh "aku" yang kita kenal adalah benar-benar diri kita, dan seberapa jauh itu merupakan cerminan dari orang lain?

4. Pandangan Timur: Diri sebagai Ilusi:
Dalam tradisi filsafat Timur, terutama dalam agama Hindu dan Buddhisme, konsep "aku" sering dilihat sebagai ilusi atau maya. Filsafat ini menekankan bahwa identitas individu adalah sementara dan tidak tetap. Dalam ajaran Buddha, misalnya, konsep anatta atau "tanpa-diri" mengajarkan bahwa tidak ada diri yang kekal atau substansial. Diri hanyalah kumpulan dari pengalaman, perasaan, pikiran, dan persepsi yang terus berubah.

Dalam pandangan ini, pertanyaan "siapa aku?" dijawab dengan pengakuan bahwa tidak ada "aku" yang tetap atau solid. Ego dan identitas individu hanyalah konstruksi pikiran, dan kebebasan sejati dapat dicapai dengan melepaskan keterikatan pada ego tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline