Lihat ke Halaman Asli

Insanity & Misery

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Love walks on two feet just like a human being

It stands up on tiptoes of insanity and misery

Puisi ini bisa sahabat temukan dalam dwilogi novel terbaru Andrea Hirata-Padang Bulan. Puisi ini dikisahkan ditulis oleh Ibu Indri -guru bahasa Inggris Enong- untuk Ikal, bujang yang hanya dan akan selalu mencintai seorang perempuan Tionghoa bernama A Ling.

Sebagai salah satu fans berat Andrea Hirata, saya selalu mengagumi berbagai macam karakter khas beliau dalam novel-npvelnya. Cara beliau bertutur menggambarkan setiap tokoh maupun peristiwa sangat ‘unik’ karena mampu membuat kita terharu miris ataupun terbahak, cara beliau melihat suatu titik cerita dengan kacamata yang tak terpikirkan, belum lagi ‘sisipan-sisipan’ ilmu yang secara tidak langsung beliau masukkan kedalam kisahnya, membuat prosesi membaca itu tidak saja hanya menghibur, tetapi sang pembaca mampu mengambil sesuatu dari yang dibacanya. Setidaknya bagi saya :-)

Yang menarik kali ini, dan telah membuat saya berpikir saat membaca 2 baris puisi diatas adalah kata insanity-kegilaan- dan misery-kesengsaraan. Tentunya saya tidak akan menceritakan kembali apa dan bagaimana puisi –dan kata- ini dimaknai oleh seorang Andrea Hirata (silahkan baca saja  sendiri novelnya yaa hehehe..), tetapi pengertian baru yang saya dapat sesaat setelah mencoba memaknainya. Ternyata, Ikal –sang tokoh- adalah pecinta sejati, karena ‘pemujaan’nya terhadap A Ling telah membuktikan usaha dan upaya dia untuk terlalu gila bahkan untuk selalu sengsara dalam cintanya.

Lantas saya mengamati orang-orang disekeliling saya, adakah di antara orang-orang yang saya kenal, yang memiliki insanity dan misery ini dalam kisah cinta mereka. Dan berikut adalah beberapa 'kasus' yang berhasil saya analisa :

Seorang sahabat membayar tagihan kartu pasca bayar-nya sejumlah (rata-rata) 1,3 juta per bulan untuk bertelepon ria dengan sang kekasih –padahal mereka bekerja di kantor yang sama, dan tak kurang dari 8 jam mereka bisa saling berbicara satu sama lain!

Sahabat yang lain pulang dengan kereta api Jakarta-Surabaya selama kurang lebih  dari 12 jam setiap Jum’at sore ke kampung halamannya di Bojonegoro, untuk kembali ke Jakarta pada Minggu sore setelah bercengkrama sesaat dengan istri dan putri-nya dan langsung ke kantor di senin pagi dari stasiun !

Sahabat saya yang lain, akan segera menikah beberapa bulan lagi, untuk ditinggalkan istrinya itu belajar selama 1 tahun ke depan di Belanda, 'hanya' satu minggu setelah pernikahan mereka !

Sahabat berikutnya yang bertempat tinggal di Tangerang, harus melewati 3 propinsi dari Senin hingga Jum'at untuk bekerja di daerah Karawang, karena tidak ingin meninggalkan atau berjauhan dengan keluarganya.

Insanity? misery? Saya pikir dalam 'kegilaan-kegilaan' itu memang terselubung secara samar 'kesengsaraan' -yang dibuat secara sadar oleh si pelaku- di dalamnya. Gila dan sengsara karena cinta? Ugh, sedikit lebay ya? hehehe.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline