Baru baru ini, kita dikejutkan oleh bacaan al-Quran dengan langgam jawa. Yang datang dibenak saya adalah apa yang dimaksud dengan istilah langgam jawa. Apakah langgam jawa adalah sama dengan medok jawa.?. Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah ikuti alur cerita berikut ini.
Ketika saya membaca berita di koran Republika bahwa orang dihebohkan dengan bacaan al-Quran langgam jawa, sayapun berpikir , pasti baccan tersebut lucu ditelinga suku suku non jawa. Biasanya saya mendengar bacaan medok jawa ketika masih remaja di masjid Mujahidin, Pontianak. Sayapun teringat ketika Almarhum bapak kiyai Kiyai Maksudi bikin anak anak muda tertawa, karena beliau membaca al-Fatihah dengan medok jawa. Tetapi kendatipun demikian, tak seorangpun yang keberatan atas bacaan sang kiiai, walaupun mayoritas jammah dari suku suku melayu, bugis, dayak dsb. Dan anehnya tak seorang pun dari tokoh tokoh alim ulama kal-bar keberatan atas bacaan sang kiyai. Mungkin karena sang kiayai terkenal atas kealimannya dalam membaca kitab kitab gundul ( kitab kuning).
Kemudian, kemaren malam saya coba lihat lewat youtube acara Isra' Mi'raj di Istana, dimana sang Qari' membaca Qur'an langgam jawa. Saya kira bacaannya akan membuat perut saya sakit karena ketawa terbahak seperti bacaan kiai M . Biasanya orang jawa yang medok memang tak bisa membaca al-Quran secara fasih sesui dengan metode bacaan imam Warash atau dari imam Hafs, yang keduanya sangat umum di nusantara. Biasanya orang jawa medok tak bisa melafazkan 'ain secara fasih, sehingga menjadi « ngain », sehingga bacaan « alamin menjadi ngalamin.
Tetapi setelah saya dengarkan dengan seksama, ternyata bacaan langgam jawa yang dibaca oleh Qari dimalam isra'Mi'raj minggu lalu itu tidak bertentangan dengan tajwid dari metode imam hafs dan Warsh. Huruf huruf dilafalkan dengan fasih, dan panjang pendeknya persis sama dengan metode umum yang terkenal di nusantara. Demikian juga 'ain tetap dibaca 'ain.
Ternyata, yang berbeda hanya langgam Arab yang disesuiakan dengan langgam Jawa. Karena yang berbeda hanya langgam, sedangkan hukum tajwidnya masih konsisten , maka bacaan tersebut tidak menyalahi metode metode bacaan yang umum di nusantara dan di dunia Islam umumnya.
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa bacaan al-Quran langgam jawa adalah tidak menyimpang dari metode tradisional bacaan al-Qur'an, karena yang berbeda hanya tinggi rendahnya suara , sedangkan huruf huruf dilafazkan dengan fasih. Demikian juga dengan panjang pendeknya. Yang harus dihindari adalah bacaan yang medok jawa, karena medok jawa takkan mampu melapazkan huruf huruf secara fasih.
Kemudian apakah Quran medok Jawa betul betul harus ditolak?. Tentu saja tidak. Seperti kasus pak hjiMaksudi diatas, semua orang setuju beliau jadi imam . Bacaan medok Jawa adalah bukan karena disengaja. Tetapi karena ketidak mampuan lidah untuk melafazkan ucapan yang bukan bahasa ibunya. Ditambah lagi karena pak kiyai yang saya sebutkan diatas yang sejak kecil hobi mendengar gending dan gamelan jawa, sehingga bacaan fatihah beliau sdiit terpengaruh dengan alunan gamelan jawa.
Tetapi saya tekankan lagi, tak seorangpun dari alim ulama pada waktu itu keberatan atas kelemahan beliau ini. Karena seperti yang diingatkan imam al-GHazali bahwa bukanlah kefasehan yang lebih berkenan dihadapan Allah, tetapi kekhusuan dan keikhlasan.
Al-Ghazali pun mengutip suatu cerita. Pada suatu ketika ada seseorang betamu kepada sufi besar Bisr al-Khafi. Diapun ikut sholat berjamaah dibelakang sufi besar tersebut . Mendengar bacaannya yang tidak fasih dari si imam, diapun agak menyesal menjadi ma'mum. Sehabis solat, ketika hendak pulang kerumah, tiba tiba dia melihat seekor harimau mengaum dan melihat kepadanya. Kemudian dia minta tolong kepada Bisr al-Khafi bagaimana caranya mengatasi si Harimau tersebut. Bisr pun pergi keluar sambil beteriak kepada si Harimau : O Abul Harith ( panggilan harimau dalam istilah arab), pergilah kehutan jangan ganngu tamuku. Sitamupun bertanya mengapa harimau itu akan menerkammnya dan takut kepada Bisr al-Khafi. Bisr pun menjawab; si harimau itu berani kepada orang orang suka mementingkan formalitas ( dalam hal ini tajwid bacaan al-Quran) dan takut kepada orang yang khusu' dan ikhlas.
Dari cerita diatas dapatlah kita simpulkan, kendatipun bacaan al Quran perlu fasih dan benar, tetapi keihlasan dan kekhusuaan itu lebih penting dari segalanya. Oleh karena itu jangankan bacaan langgam jawa, medok jawapun diterima Allah SWT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H