Lihat ke Halaman Asli

Orang Kedurus

Pengamat fenomena, tersembunyi maupun tak tersebunyi

Kepemimpinan Yang Meresahkan

Diperbarui: 1 Maret 2016   16:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Resah? Sumber: jeffmcclung.com"][/caption]

Akhir-akhir ini di organisasi dimana saya bernaung dan bekerja (bekerja atau melayani ya yang lebih tepat?) muncul keresahan di berbagai tempat. Keresahan itu sebenarnya sepele saja awalnya. Berawal dari informasi yang datangnya simpang siur. Berawal dari isu (kalau tidak mau disebut gosip) yang kemudian ditimpali oleh isu lainnya. Atau mungkin diawali dengan adanya kepemimpinan yang baru? Intinya begini, ada kabar bahwa akan ada perubahan di organisasi ini. Yang sangat disayangkan adalah, ketika semua sudah bersiap dengan perubahan itu dan berkata pada dirinya sendiri, “Oh akan ada perubahan ya? Oke siap…” ternyata perubahan itu tak kunjung datang.

Rencana awal dari perubahan itu adalah penyusunan strategi organisasi. Strategi terakhir yang dipunyai sudah berakhir tahun 2015 lalu, artinya mutlak diperlukan strategi baru guna mencapai....  nah, ini dia yang saya agak bingung. Karena kalau saya jawab guna mencapai hal yang sama kok ya perlu strategi baru. Yang jelas, organisasi seperti berburu dengan waktu. Strategi pun disusun dengan melibatkan sesedikit mungkin orang. Toh, nanti setelah jadi bisa dishare ke orang yang lebih banyak. Dan akhirnya memang strategi itu dishare dan orang-orang yang lebih banyak itu ternyata kebagian getahnya juga, yaitu bagaimana mengejawantahkan strategi yang dibuat oleh segelintir orang tadi ke wilayah mereka masing-masing yang sudah jelas berbeda konteks dan kearifan lokalnya.

Sayangnya prosesnya terlalu lama. Proses yang tadinya jelas-jelas top down, seolah-olah mau dibuat bottom up dengan tambahan plus-plus yaitu arahan dari pusat. Maka safari dari kota ke kota pun diatur. Segelintir orang (yang itu-itu saja) berjalan dari kota ke kota. Membelanjakan sangat sedikit uang untuk biaya perjalanan. Membelanjakan sangat sedikit waktu untuk menyusun turunan strategi di tiap-tiap wilayah yang disebut zona itu. Untuk kemudian memperoleh hasil yang sangat sedikit eh.. maksud saya.. yang maksimal.

Belum selesai gelombang strategi, datang gelombang berikutnya yang bernama restrukturisasi. Sayangnya inipun tidak jelas. Semua informasi datang simpang siur dan tidak bisa dikelola dengan baik. Si peniup informasi dan si penerima informasi sepertinya sama-sama resah. Si peniup informasi seolah sedang mencoba teknik “coba-coba salah” dan si penerima informasi bertahan dengan teknik “pura-pura merasa nggak ngefek tapi was-was juga”. Teknik “coba-coba salah” itu artinya begini: kira-kira kalau saya sampaikan informasi A bagaimana ya respon pendengar? Kalau ternyata respon pendengar baik dan mereka menerima A, lanjutkan, kalau tidak tinggal ganti saja informasinya dan mengelak kalau pernah mengeluarkan informasi tersebut. Gitu aja kok repot? Enjoy dikitlah, nikmati fasilitas yang sangat sedikit ini. Eh, ngomong-ngomong anak ama bini gue dah dijemput belum ya?

Restrukturisasi katanya untuk memaksimalkan kinerja staf, melakukan efisiensi di segala bidang. Tinggal gabung saja beberapa divisi, nggak usah dilihat perbedaan masing-masing divisi toh kita tetap satu keluarga besar. Yang penting strukturnya terlihat padat dan ringkas. Nggak perlu juga dipikirkan kalau nanti masing-masing divisi akan berebut mempertahankan eksistensinya dan membuat staf di level bawah kelimpungan. Biarkan saja mereka kelimpungan, siapa suruh mereka ada di bawah sana. Tapi memang di bawah enak juga sih, pemandangannya bagus… Eh, ngomong-ngomong gue perlu asisten baru nih…

Hei pren, apa sih sebenarnya masalahnya? Bukankah sebuah organisasi akan berjalan baik jika ada kepemimpinan yang baik pula. Bukankah sudah ada beberapa survey yang dilakukan? Ditindaklanjuti dong.. Bukan dengan membuat rincian tindak lanjut yang asal jadi (seolah-olah sudah ditindaklanjuti namun sebenarnya yang ditampilkan adalah omong kosong yang jujur saja, malah memperparah kondisi) namun dengan langkah-langkah konkrit yang melibatkan para staf di segala level. Bukankah staf adalah asset terbaik organisasi? Jika staf diperlakukan dengan baik, tentu kontribusinya akan besar bagi organisasi.

Lalu, bagaimana dengan si pemimpin yang membuat resah tadi? Kita memang tak pernah bisa memilih siapa pemimpin kita. Yang bisa kita lakukan adalah kembali ke nilai-nilai dasar organisasi dimana kita bernaung dan dulu melayani (sekarang bekerja) sambil terus berdoa. Bukankah ada sebuah kitab bijak yang menuliskan bahwa doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan sangat besar kuasanya?

Sudah… sudah… ayo kembali bekerja (dan berdoa kalau memang sedang berdoa sebelum membaca artikel ini), jangan dibahas lagi isu-isu itu…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline