Lihat ke Halaman Asli

Duaribu empatbelas

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Duaribu empatbelas

Sistem politik demokrasi yang dianut suatu negara memungkinkan siapapun jika memenuhi syarat dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, bebas memilih dan dipilih untuk memimpin dan mewakili pada tingkat eksekutif maupun legislatif. Terpilihnya seseorang, harus melalui mekanisme pemungutan suara atau pemilihan umum, dimana suara pemilih terbanyak merupakan ukuran untuk menentukan seseorang bisa memimpin atau mewakili pada tingkat eksekutif dan legislatif tersebut. Negara-negara penganut demokrasi yang sudah mapan pada umumnya, jika pemerintah ingin mengeluarkan kebijakan yang menyangkut kepentingan masyarakatnya, selalu menguji kebijakan itu melalui survei opini publik atau jajak pendapat kepada masyarakat. Opini publik dapat memberikan gambaran secara umum apa yang dikehendaki masyarakat. Dengan memperhatikan opini publik, para pengambil kebijakan, para politisi, melakukan tugasnya untuk mengutamakan kepentingan masyarakat umum. Begitu juga ketika melaksanakan pemilihan umum untuk menentukan pemimpinnya, pada tiga dasawarsa terakhir ini, selalu didahulu pengujian melalui opini publik atau jajak pendapat, sehingga bisa dikatakan bahwa survei opini publik itu merupakan salah satu pilar demokrasi bagi Negara-negara tersebut.

Di Indonesia sejak tahun 2004, mulai mengenal lembaga survei opini publik, ketika sejumlah daerah mulai melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung. Momen ini, memicu tumbuhnya berbagai lembaga survei atau konsultan politik yang secara tidak langsung merubah kehidupan demokrasi di Indonesia. Pada perkembangan selanjutnya setiap dilaksanakan pesta demokrasi, lembaga survei selalu hadir memberikan ramalan siapa kandidat yang akan terpilih pada pemilihan umum baik tingkat pusat maupun daerah. Namun dalam kenyataannya, masih banyak hasil survei opini publik yang dikeluarkan oleh lembaga survei diragukan independensinya. Masih banyak kecurigaan adanya rekayasa hasil survei untuk pembentuk opini publik bagi kepentingan kandidat tertentu. Padahal survei opini publik tersebut merupakan produk ilmiah yang tentu saja tidak bisa terkadaikan oleh apapun kecuali untuk kepentingan masyarakat umum. Untuk mengukur keakuratan lembaga survei opini publik, hanya para ahli survei dan statistik yang bisa melakukan audit metodologis terhadap survei tersebut. Untuk itu, sebaiknya sebelum hasil survei dipublikasikan harus mencantumkan bahwa hasil survei tersebut telah di audit oleh ahli survei yg kompeten. Sehingga masyarakat umum mendapatkan informasi yang dapat dipercaya. Hal ini juga dapat mengurangi konflik horizontal antar pendukung kadidat yang sedang bertarung.

Akhir-akhir ini, panggung politik Indonesia kembali disuguhi hasil survei opini publik mengenai siapa yang pantas memimpin Indonesia kedepan. Dari berbagai lembaga survei yang mempublikasikan hasil temuannya dengan berbagai argumen dan kombinasi kandidat Presiden, menghasilkan ramalan yang hampir sama, nama Jokowi selalu menjadi yang paling diminati oleh masyarakat untuk menjadi pemipinnya, mengalahkan tokoh-tokoh senior seperti Megawati, Prabowo, Aburizal dan Wiranto. Apakah hasil survei tersebut, masih terkait dengan eforia kemenangan Jokowi yang baru satu tahun terpilih dan memimpin DKI Jakarta? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu saja kita harus menunggu hasil survei opini publik berikutnya. Jika dalam survei berikutnya, Jokowi tetap menjadi pilihan masyarakat untuk memimpin Indonesia kedepan, bisa dipastikan bahwa tugas berat bagi para kadidat lainya untuk membalikkan keadaan, karena waktu semakin dekat menuju 2014.

Namun demikian, para kandidat presiden 2014 masih mempunyai harapan besar untuk lolos, karena Jokowi sendiri masih banyak kendala yang menghadangnya, disamping baru terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta dan harus menyelesaikan janji kapanyenya, serta belum secara resmi dicalonkan sebagai capres oleh PDIP yang merupakan partai pengusungnya. Untuk kedala yang pertama tidak terlalu sulit menyelesaikannya, karena persoalan DKI Jakarta misalkan; banjir, kemacetan dan perumahan serta sandang-pangan) sebagian besar merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Maka secara teori jika Jokowi menjadi presiden akan lebih mudah menuntaskan janji kampaye menyelesaikan persoalan DKI Jakarta. Namun untuk kedala kedua masih sangat tergantung keputusan Ketua Umum PIDP dalam hal ini Megawati Soekarno Putri. Jika dalam perjalanan waktu yang tidak terlalu lama ini, Megawati “legowo” memberikan kesempatan kepada Jokowi sebagai Capres dari PDIP, maka pertarungan pemilu 2014 tidak menarik, karena sulit membendung Jokowi.

Persoalan selanjutnya bagi para kandidat Presiden adalah revisi Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak kunjung dilaksanakan, maka ambang batas 20 persen perolehan suara kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional, tetap menjadi syarat sebuah partai mencalonkan seorang presiden dan wakilnya. Bagi partai besar mungkin tidak menjadi kendala berarti, namun bagi partai kecil dan mempunyai Capres yang mampunyai elektabilitas tinggi kemungkinan besar akan gigit jari. Karena kemampuan partai mendulang kursi dan suara untuk mencapai ambang batas tersebut akan sulit terpenuhi. Diperkirakan untuk Pemilu tahun 2014 nanti, masih didominasi partai-partai lama misalkan Golkar dan PDIP. Khusus PDIP jika mengusung Jokowi sebagai Capres-nya dan diumumkan sebelum pemilu legislatif, kemungkinan besar akan mendongkrak perolehan suara nasionalsecara signifikan dan PDIP dipastikan menjadi pemenang pemilu 2014.



Orangeriopo2@yanirsyad




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline