Lihat ke Halaman Asli

Harun Anwar

Menulis sampai selesai

Menukar Keluh dan Sabar

Diperbarui: 25 Maret 2023   13:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: pngtree

#day3 #30harimenulis #30haribercerita

Masih pagi-pagi buta saat azan subuh di masjid baru setengah jalan dikumandangkan marbot, seorang pegawai sebuah toko retail sudah necis dan sibuk merapikan halaman tokonya. Wajahnya begitu segar selayaknya mereka yang berangkat kantor di pagi hari nanti. Di dalam toko tampak dua orang pegawai perempuan juga sedang bersiap-siap.
       
Melihat mereka saya suka bertanya pada diri sendiri apakah jika saya di posisi mereka saya bisa melakukan semuanya tanpa mengeluh. Apakah saya bisa konsisten menjalani rutinitas macam itu? Atau apakah saya akan tahan berlama-lama, jika saya menjadi mereka? Sayang itu jadi pertanyaan yang sebatas pertanyaan. Sepanjang itu semua tak ada lagi jawaban yang bisa menjelaskan lebih jauh.
       
Entah bagi sang pegawai toko tersebut adakah ia tak mengeluhkan situasinya. Paling tidak ia masih mau menyalurkan senyum terbaiknya saat warna langit pun masih belum menyala. Ia memberikan sapaan paling ramah tatkala banyak orang masih tertidur.
       
Sekali kesempatan saya pernah bicara dengan langsung dengan pegawai toko lainnya. Sekadar cerita-cerita pengantar biasa. Saya tak sampai hati harus bertanya berapa lama jam kerja sehari maupun segala hal terkait benefit. Tapi ia sendiri yang berterus terang mengenai pekerjaannya, suka duka yang ada di lingkungan kerja, juga keluarga yang mesti terus dijaga.
     
Dari sana saya menyadari hal-hal lain yang sekian lama bahkan tak bisa diidentifikasi dalam diri. Bahwa kurangnya syukur akan membuat kita dekat dengan lebih banyak mengeluh. 

Begitu juga sifat malas yang bikin kita jauh dari produktif. Kenyataan di luar selalu menyimpan sekian pelajaran berharga yang kerap kali kita abaikan. Kendatipun dari hal yang remeh-remeh kita tetap bisa mengambil tiap sisi baiknya.
       
Sang pegawai toko retail tadi mungkin sudah harus bangun di jam 4 pagi. Ia akan mandi air yang terasa lebih dingin dinihari, saat masih banyak orang yang mengaku malas mandi pagi-pagi lantaran alasan dingin itu. 

Ia sudah keluar rumah jam 5 pagi ketika perasaan untuk tidur sebenarnya lebih besar. Itu semua sebuah dedikasi yang tak mudah. Ia hampir pasti tak akan kaya raya karena pekerjaannya tapi dari itu ia masih bisa menjadi orang yang lebih bertanggung jawab pada dunianya.
       
Kita yang terus mengeluh barangkali harus merekonstruksi pikiran-pikiran kita selama ini. Atau bisa juga membuat sudut pandang baru terkait dunia. Kita yang mudah mengeluh rasanya bukan siapa-siapa dibanding orang-orang di luar sana yang malah menjadikan kerasnya pekerjaan sebagai alasan untuk tetap maju. Mereka yang tak berhenti bertarung dengan segenap tenaga rasanya pantas menjadi sandaran inspirasi.
     
Dari kisah-kisah kecil seperti sang pegawai toko tadi kita benar-benar mengambil contoh besar bagaimana hidup yang selama ini dipandang sulit rupanya bisa direkayasa dengan upaya sederhana seperti kesyukuran dan kerja keras. Tak ada hidup yang mematikan, kendatipun yang hidup akan mati jua.
     
Serumit apapun sebuah kondisi, kita tetap akan temukan dua pilihan: bersyukur dan mengeluh. Saya percaya hidup yang baik adalah hidup yang di dalamnya diluaskan syukurnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline