Lihat ke Halaman Asli

Harun Anwar

Menulis sampai selesai

Upaya Melestarikan Kembali Permainan Tradisonal

Diperbarui: 30 Oktober 2022   13:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: La yusrie

Hidup di masa kecil selalu lekat dengan ragam permainan tradisional yang menarik dan punya keseruan tersendiri. Di setiap daerah ada saja jenis permainan tradisionalnya. Selain permainan yang berbeda-beda, tak sedikit juga permainan yang sama dan dimainkan di banyak tempat dengan namanya sendiri-sendiri.
     
Salah satu yang paling mashyur adalah galah asin. Nama lainnya yaitu cakbur, gobak sodor, galah panjang, atau seperti yang di gambar ini: anse masyarakat Gu Lakudo menamainya.
   
Permainan ini dimainkan dua regu yang saling mengonfrontasi. Jumlah tiap regu bisa 4 orang sampai lebih. Permainan digelar di luar ruang, memiliki permukaan datar dengan area yang diberi garis mengotak sesuai jumlah pemain. Regu yang berjaga akan berdiri di tiap garis menghalau lawan memasuki kotak. Caranya sederhana, penjaga hanya perlu menyentuh bagian tubuh lawan tanpa meninggalkan garis maka permainan akan berganti. Begitu selanjutnya. Manakala penjaga tak berhasil mencegat lawan hingga memasuki kotak terakhir maka itu jadi poin pertama untuk lawan.

Gobak sodor, atau anse perlahan mulai ditinggalkan. Kemajuan zaman secara langsung telah ikut mengubah kecenderungan lanskap sosial. Termasuk dalam hal permainan anak-anak itu sendiri.
     
Di media sosial saya tahu tokoh pemuda di Gu menggagas lomba-lomba dan permainan tradisional seperti anse, bente, kaoko-oko dan beberapa yang lain. Tujuannya selain merawat silaturahmi juga tentu saja untuk membangkitkan kembali gairah akan kesenian tradisional agar tak hilang di tengah masyarakat dan gempuran teknologi.
         
Saya menonton beberapa siaran amatir yang beredar di kanal media sosial. Ada perasaan senang, bercampur rindu yang tiba-tiba hadir seperti memberi respon. Rasanya ingin juga ikut bermain, supaya bisa dinonton cewek-cewek. Atau paling tidak sekadar menonton di pinggir lapangan dan larut dalam euforia sembari curi-curi pandang ke arah penonton cewek yang hadir. Hehehee.
       
Menonton keseruan lomba-lomba itu dari jauh justru serasa kembali mendekatkan saya dengan segala momen di masa kecil dulu-dulu.
     
Kalau di Boneoge yang cuma berjarak sepeminuman teh dari Gu, permainan anse punya nama sedikit berbeda, yakni ase, asen, atau aseng. Perubahan penamaan ini juga tak lepas dari pengaruh sosial dan bahasa daerah maluku.
     
Saat kecil dulu lokasi main asen agak mudah ditemukan. Biasanya kami bermain di halaman rumah tetangga yang lebih lapang. Permainan biasanya akan dihentikan bila pemilik rumah menyampaikan keberatan karena debu-debu yang beterbangan sudah mulai pekat. Begitu juga dengan permainan bente dan lempar kaleng.
     
Salah satu yang juga menarik adalah permainan poka oko-oko. Atau bahasa Indonesianya petak umpet. Di zamanku ketika bahasa ambon mulai ramai penuturnya di kampung permainan ini lebih dikenal dengan nama main terpal. Bedanya dengan permainan asen dan bente yaitu poka oko-oko masih bisa dimodifikasi tergantung siapa yang bermain. Bagi anak-anak di bawah 10 tahun poka oko-oko akan dimainkan sesederhana mungkin. Bila yang bermain adalah anak-anak tanggung maka konsepnya akan berbeda.
     
Hingga sekolah di bangku esempe saya masih beberapa kali main poka oko-oko. Permainan digelar malam hari, seringkali pada bulan puasa. Area permainan pun lebih besar. Jika air laut sedang surut kami bisa bersembunyi di laut, di dalam perahu, di belakang empang dan keramba, di kolong-kolong rumah, atau bisa juga di langit-langit godhe-godhe terdekat bagi yang malas lari jauh-jauh.
     
Seperti yang saya tulis sebelumnya kalau konsep petak umpet atau poka oko-oko di sini mengalami modifikasi. Mungkin ini juga terjadi di tempat lain. Saya tak tahu. Tapi di kampungku begitulah adanya. Yang jadi tukang cari tidak akan menutup mata untuk memberi kesempatan yang lainnya bersembunyi sebagaimana konsep petak umpet umumnya. Secara kompak kami akan mengambil kulit kelapa muda yang sudah mengering untuk dijadikan alat peraga. Kulit kelapa tadi akan dilempar sejauh-jauhnya lalu si tukang cari akan pergi mengambilnya dan menaruh kembali kulit kelapa tersebut di titik yang sudah ditentukan. Sembari si tukang cari mengambil kembali kulit kelapa yang dilemparkan tadi, orang-orang akan berlarian mencari tempat sembunyi terbaik.
     
Di dalam gelap malam permainan itu justru menjadi kian seru. Si tukang cari biasanya sudah menyediakan lampu senter guna memudahkannya mencari orang yang bersembunyi. Tak tanggung-tanggung ada yang bahkan bawa senter besar yang bisa menjelajahi jarak seratusan meter. Senter dengan kemampuan semacam itu dipakai untuk menghalau mereka yang bersembunyi di keramba maupun di belakang perahu.
       
Permainan poka oko-oko juga punya aturan khusus. Tidak boleh ada yang sembunyi dalam rumah. Baik di rumah sendiri atau di rumah orang lain. Di sini si tukang cari diberi kebebasan mencari sejauh mungkin orang sembunyi hingga jumlah tertentu tanpa takut kebobolan. Begitulah, hingga semua selesai.
         
Asen, bente, poka oko-oko, lempar kaleng, kepala desa, sede-sede, dan sejumlah permainan tradisional itu sungguh amat lekat dengan masa lalu generasi dulu. Ia kini seakan tenggelam oleh putaran roda zaman.
       
Senang bisa melihat lagi permainan macam itu dihadirkan kembali. Kita perlu kesadaran untuk bisa merawat semuanya. Butuh kerja-kerja nyata supaya bisa tetap melestarikan apa-apa yang punya jejak masa lalu. Keren om La Yusrie. Semoga tetap menginspirasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline