Ini cerita dari Teminabuan, kota kecil di kepala burung cendrawasih. Cerita yang sekali-kali hinggap di ingatan dalam alunan lagu-lagu kenangan. Masih pagi-pagi buta ketika sebagian ibu-ibu pribumi yang kerap disapa mace itu mulai riuh di pelataran pasar. Mereka telah siap bersama barang-barang hasil berkebun yang mereka panen untuk dijajakan di pasar. Mereka seperti sedang berbaris bersama sisa-sisa kabut yang tak sempat menjadi embun. M
ereka menunggu satpam membuka gembok gerbang pasar. Ada yang datang dari sekitaran pasar, ada pula yang datang dari distrik sebelah. Kebanyakan dari mereka yang datang lebih pagi dipastikan adalah pedagang. Ada aneka hasil tanaman yang mereka bawa: sayur-sayuran, buah-buahan, hingga yang paling berkesan di ingatan saya, yakni daun gatal. Konon daun gatal itulah obat yang paling ampuh untuk mengusir pegal-pegal dan nyeri otot.
Di Teminabuan, ada banyak sungai. Distrik yang menjadi tempat duduknya pusat pemerintahan kabupaten Sorong Selatan ini memang merupakan kota kecil yang cukup sejuk, sesejuk senyuman gadis Enrekang yang kerap berbelanja pakaian di tempat saya bekerja waktu itu.
Nama Teminabuan sendiri barangkali tidak begitu terdengar aungannya di telinga orang-orang dari luar Papua, atau bahkan Papua sendiri. Tapi dalam sepanjang ingatan saya yang berpintal-pintal ini, Teminabuan serupa lemari tempat teronggoknya berlipat-lipat kenangan. Tempat digantungkannya berlembar-lembar kisah keseruan yang berwarna-warni.
Sebagai gambaran: menurut seorang sopir yang saya kenali, Teminabuan berjarak sekira 180 kilometer dari kota Sorong. Perjalanan dari kota Sorong menuju Teminabuan sendiri biasanya menghabiskan waktu 3-4 jam, tergantung laju kendaraan.
"Sekarang semenjak jalan bagus semua sudah agak enak. Beberapa tahun lalu ketika jalan masih banyak timpang, perjalanan dari Sorong ke Temi bisa memakan berjam-jam waktu," kata sopir yang mengendarai mobil bertuliskan maimo itu.
Ada juga sebenarnya rute laut, tapi entah berapa waktu tempuhnya. Tak ketinggalan rute udara pun tersedia.
Untuk sejujurnya, Teminabuan memiliki kesan cukup menjengkelkan di kepala saya, terutama masalah jaringan komunikasi waktu itu. Saya masih mengingat dalam rentang 2014-2015 jaringan internet masih begitu kaku. Hilang selera untuk sekadar bikin status di Facebook.
Saya mencontoh, ketika mengunggah foto berukuran 1 MB, kita harus menunggu beberapa saat lagi. Bahkan kadangkala foto itu akan gagal terunggah hanya gara-gara jaringan yang tiba-tiba saja drop.
Anda bisa bayangkan bagaimana jadinya orang yang hobi melakukan siaran langsung di dunia maya berada pada posisi semacam itu. Tak bisa juga saya lupakan ketika hendak browsing via warnet, sewa per jamnya amatlah mahal: 10 ribu. Jangan kira kualitasnya high. Coba bayangkan sewa warnet sejamnya 10 ribu tapi buat login Facebook saja bisa sampai 5 menit, malah lebih kadang.
Jeleknya jaringan internet inilah yang saya rasa menjadi penyebab terbesar sulitnya saya mendapatkan pacar walau seorang saja.
Waktu itu seingat saya ada beberapa gadis cantik yang sempat bikin tergoda. Saya coba mencari gadis yang dimaksud lewat Facebook tanpa menanyakan langsung kepada si gadis, tapi butuh waktu berminggu-minggu untuk menemukannya. Kalau pun bisa cepat dapatnya paling-paling juga akun si gadis sudah tergantung dan mengeras layaknya jemuran yang ditinggal pemiliknya. Jadi semua terasa agak sia-sia. Dan keadaan-keadaan inilah yang benar-benar membuat saya pegal hati.
Sekarang cerita sudah berbeda. Kabarnya sudah banyak kemajuan di Teminabuan. Jaringan internet sudah sangat bagus. BNI pun sudah mengepakkan sayapnya, entah masih teras atau cabang. Taman kota kecil-kecilan pun dibangun di pinggiran bandar udara. Sebagai orang yang punya pertautan dengan Teminabuan, saya jelas ikut senang.
Saya membayangkan kondisi sekarang di mana mace bisa lebih mudah mengabari pace untuk datang menjemput di pasar hanya dengan melalui pesan WhatsApp daripada harus menelpon dengan suara keras di depan lapak pedagang-pedagang lainnya.
Terlintas juga kenangan yang lucu-lucu. Sekali waktu pernah terjadi pengrusakan pipa induk air oleh oknum pribumi sehingga nyaris seluruh warga yang tak memiliki sumur bor mesti bersusah payah mengambil air di kali. Itu juga yang membuat saya dan beberapa tetangga di pasar Kajase sampai harus rela mandi ramai-ramai di sebuah kali terdekat sampai malam gelap.
Ada juga cerita seorang kawan yang secara diam-diam pergi ke hutan untuk buang hajat, besertanya juga ada sejeriken air yang diambilnya di kali. Sementara saya selalu menjadikan WC yang ada di masjid Nurul Kajase sebagai tempat pelarian selama masa-masa sulit air itu melanda. Dan untuk keperluan mandi saya mesti menyusup ke indekos teman yang kebetulan tersedia air sumur bornya.
Itu mungkin masih secuil saja. Pernah yang paling lucu ketika saya bersama kawan yang lain pergi ke sebuah mini market yang cukup besar tak jauh dari pasar Kajase. Setelah selesai mencari-cari barang kebutuhan, kawan itu pun mengambil sekaleng minuman soda. Setelahnya saya pun mengekorinya ke meja kasir. Ketika si kasir meminta kaleng minuman yang dipegangnya untuk dicek harganya ia malah mati-matian menolak.
Meski si kasir sudah meminta dengan nada suara yang agak keras ia masih tetap kukuh tak mau memberikan kaleng minumannya itu. Rupanya ia mengira si kasir akan meminta minuman itu untuk diminum. Tapi setelah saya menjelaskan kepadanya ia pun akhirnya mengerti dan mau memberikan kaleng minuman itu pada si kasir, tentu saja dengan mimik wajah malu yang memerah. Hahahaha.
Ada juga satu yang selalu membuat saya kerap tertawa sendiri sampai hari ini. Itu adalah cerita tatkala saya hendak menyetor sedikit uang ke bank BRI. Entah waktu itu apa yang ada dalam pikiran saya sampai-sampai untuk masuk pun saya dengan sopannya melepas sandal di depan pintu bank kemudian masuk ke dalam.
Karena melihat tingkah saya itu sang security pun cepat-cepat menegur saya. "Ade, masuk saja. Tra usa lepas sandal," ucap security itu sambil tersenyum.
Untunglah waktu itu hanya si security yang menyadari keanehan itu, jika tidak maka bisa jadi saya akan menanggung lebih banyak malu.