Lihat ke Halaman Asli

Moment Pemilu = Moment Menabur Janji

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini, di negara yang sangat penuh" toleransi" dan selalu ada "rasa tidak enak" ini, terjadi hingar bingar menabur janji, baik lewat baliho-baliho, antara lain: spanduk, poster dan lewat media elektronik/tv, yang semuanya berusaha menarik simpati masyarakat dengan kalimat-kalimat yang penuh dengan rayuan, agar pada saat hari H nanti,  mencoblos/memilih partai atau calegnya.

Ditinjau dari aspek pengeluaran, maka moment pemilu ini, sangat membutuhkan dana yang cukup besar. Sebagai ilustrasi saja, seorang caleg harus menyiapkan dana sampai ratusan juta rupiah, belum lagi sang ketua umumnya yang harus berkampanye di seluruh wilayah negeri ini, dengan menyewa/carter pesawat bagi yang belum punya pesawat. Sedangkan yang sudah punya pesawat pribadi, harus membawa/membayar artis juga untuk mentas.

Bagi saya pribadi, moment pemilu ini bukanlah suatu moment yang strategis atau penting, karena semua partai peserta pemilu ini, adalah kelompok yang mempunyai/membawa kepentingan yaitu, bagaimana menjadi partai pemenang dan sebagai partai yang memegang kendali kekuasaan di negeri antah berantah ini. Sedangkan bagi  partai yang kalah, nantinya tidak akan begitu saja menerima kekalahannya dan legowo, tapi akan berusaha "melawan" dengan jalan meng-kritisi sang pengendali kekuasaan, seperti yang terjadi saat ini, dimana yang kalah mem-proklamirkan partainya sebagai oposisi dan sebagian lagi bersedia berkoalisi, dengan syarat diberikan kursi/jabatan dalam pemerintahan, baik sebagai menteri, maupun sebagai pimpinan lembaga dalam pemerintahan.

Kesimpulannya, masyarakat/rakyat, yang menjadi modal mereka untuk menang dalam pemilu, akhirnya menjadi korban, seperti yang kita lihat saat ini, dimana banyak masyarakat yang menderita akibat terjadinya bencana alam, tapi kurang mendapat perhatian dari pemerintah dan terjadinya kenaikan biaya hidup sebagai akibat tidak terkendalinya harga-harga sembilan bahan pokok di pasar, dan lain-lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline