Ada hal menarik dalam pertemuan Komisi III DPR dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Bapak Mahfud MD dalam membahas transaksi ganjil senilai 346 Trilyun di institusi perpajakan yang diduga praktik yang melanggar hukum.
Seperti kita ketahui mencuatnya kasus ini berawal dari peristiwa penganiayaan yang dilakukan oleh "M" anak seorang pejabat perpajakan kepada "D" anak seorang pengurus Banser NU, yang berawal dari masalah wanita. Tak beda jauh mencuatnya mafia dikepolisian ketika terkuak penembakan aparat kepolisian "J" oleh atasannya Sambo yang juga masalah wanita.
Entah kehendak Tuhan munculkan sebuah peristiwa penganiayaan yang berujung terbongkarnya tindakan pidana lainnya. Seperti halnya kasus kerusuhan Kanjuruhan Malang, berdampak pada terbongkarnya kasus narkoba yang dilakukan oknum kepolisian yang justeru baru dilantik setelah pejabat sebelumnya dicopot karena kasus Kanjuruhan. Sambo dan kawan-kawan sudah divonis dan dibui akibat ulahnya. Beberapa jam yang lalu KPK mencokok ayah dari "M" yang kekayaannya diluar kewajaran tak sebanding dengan gaji yang diperoleh sebagai pejabat diperpajakan.
Mahfud MD secara lugas dan gamblang memaparkan data-data tentang transaksi yang dicurigai hasil temuan PPATK kepada hadirin anggota DPR Komisi III malam itu. Debat sempat panas karena sebelum pertemuan tersebut muncul statement anggota DPR yang bernuansa ancaman terhadap pak menteri karena bicara kasus trilyunan ke publik.
Karena PPATK lembaga yang tidak mempunyai kewenangan menindak dugaan penyimpangan tersebut maka beliau mengungkapkan agar DPR segara mensahkan UU Perampasan Aset dengan tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi maksimal.
Ada jawaban unik dari salah satu anggota DPR yang hadir Bambang Pacul ketua Komisi III DPR , yang intinya persetujuan fraksi DPR terhadap undang-undang tersebut tergantung "Ibu" ketua partai, kebetulan PDIP partai pak Bambang berasal. Presiden "Petugas Partai" ini yang tak luput dari ingatan kita dari statement ketua PDIP beberapa tahun yang lalu.
Ada sebuah kerancuan sebagai rakyat kecil pada saat pemilihan umum digelar kami memberikan hak suara untuk memilih seseorang menjadi anggota legislatif adalah demi mewakili kami dalam menyuarakan aspirasi.
Walaupun mereka diusung sebuah partai akan tetapi yang memberikan mandat sebagai wakil rakyat adalah kami pemilihnya. Hak bersuara rakyat terwakilkan melalui anggota DPR tersebut dimajelis sidang. Akan tetapi cangkul demokrasi menjadi tumpul manakala hak suara setiap anggota DPR kalah oleh intruksi ketua partai politik.
Seperti yang kita ketahui demokrasi dinegara kita adalah perwujudan sila keempat Pancasila yang berbunyi "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan" yang intinya anggota DPR yang duduk di senayan adalah wakil-wakil rakyat bukan utusan ketua partai.
Kebijakan fraksi legislatif adalah hasil musyawarah para anggotanya kemudian diputuskan untuk mengeluarkan keputusan bulat menanggapi suatu permasalahan bukan dari komando dan kemauan ketua partai.