Mungkin masih teringat peristiwa tenggelamnya alat transportasi penyeberangan tradisional dan darurat "perahu tambang" dari berbagai media dan memakan korban jiwa. Perahu tambang atau lebih populer dikenal dengan tambangan adalah sebuah alat penyeberangan yang dibuat ala kadarnya untuk menyeberangkan pengguna jalan melewati sungai dikarenakan tidak adanya jembatan penghubung dua wilayah. Tanpa memperhatikan syarat-syarat keselamatan sebuah alat transportasi alat tersebut kerap digunakan dikarenakan kebutuhan walau resiko bahaya yang menimpanya.
Saya angkat kembali fenomena perahu tambang ini, mengingat saat ini telah memasuki musim penghujan, dimana alat penyeberangan tersebut rawan kecelakaan dikarenakan derasnya air sungai sebagai dampak curah hujan yang tinggi. Sedikit kita tengok berita tenggelamnya perahu tambang disatu wilayah kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur beberapa waktu yang lalu :
Korban Tewas Perahu Terbalik di Gresik Jadi Enam Orang
Korban tewas akibat bencana perahu terbalik di Kali Surabaya yang menghubungkan Kecamatan Balongbendo, Sidoarjo dan Kecamatan Wringinanom, Gresik, Jawa Timur total menjadi enam orang.
"Ditemukan satu korban lagi sore tadi, dan total ada enam korban tewas dalam musibah tersebut. Tim gabungan akan kembali mencari satu korban, Sabtu (15/4/2017)," ucap Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Gresik Abu Hasan dikonfirmasi dari Surabaya, Jumat (14/4/2017).
[sumber]
Perahu tambang penghubung antara dua Kabupaten Sidoarjo dan Gresik tersebut, dikarenakan minimnya jembatan penghubung kedua wilayah. Berita tenggelamnya perahu tambang tersebut sempat booming hingga muncul kepedulian pemimpin setempat untuk melihat secara langsung dan memberikan nasihat-nasihat yang diliput berbagai media. Seiring habisnya musim penghujan saat peristiwa tersebut terjadi, tenggelam pula berita tentang kecelakaan naas tersebut dan pudar pula perhatian semua orang terhadap kondisi yang ada. Padahal peristiwa serupa akan terus ada dan terjadi dikarenakan pihak yang berwenang tidak memberikan solusi riil untuk pencegahannya.
Mungkin sudah watak kita, watak pemimpin kita baru "ngeh" terhadap suatu masalah ketika masalah itu ada dan telah membawa korban jiwa. Ini dapat dilihat ketika media sosial memuat berita fenomena nenek makan rumput, nenek mati karena kelaparan, penderita penyakit tak ada biaya, dan lain-lain, baru muncul kepedulian dan perhatian terhadap korban.
Tak ada dan jarang kita jumpai perilaku kita, pemimpin kita mencari tahu apakah ada sesama yang kelaparan, apakah ada fasilitas yang membahayakan, dan lain-lain sebelum peristiwa buruk terjadi dan sebelum media sosial memuatnya.
Tak perlu kita berprasangka buruk dengan mengatakan kepedulian pemimpin terhadap sebuah peristiwa yang booming akibat santer dimuat medsos sebagai perilaku "cari muka" atau "ngartis" demi kepentingan nama dirinya. Walaupun perilaku semacam itu memang ada dalam kehidupan yang kita lihat sehari-hari.
Perahu tambang adalah salah satu fenomena yang nyata ada antara "Kebutuhan dan Bahaya" sebuah fenomena riil yang butuh penyelesaian yang riil pula agar masyarakat pengguna jasa layanan tersebut tidak dirundung bahaya dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya.