Lihat ke Halaman Asli

Id.Djoen

”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran”

Jengkol Tak Merepotkan Petai

Diperbarui: 12 Juli 2016   22:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Mengutip berita disaat publik konsentrasi memelototi harga daging sapi yang naik tajam, ada hal yang tak menjadi fokus perhatian publik, yaitu :

Pada bulan Ramadan ini harga jengkol kian melonjak sampai dua kali lipat dari harga normal. Di Jakarta, harga jengkol naik Rp 30.000,00/kg menjadi Rp 64.000,00/kg. Dan di Jawa Barat, harga jengkol juga melonjak pada kisaran yang hampir sama yakni menjadi Rp 70.000,00/kg. [sumber]

Harga jengkol yang mahal tidak membuat publik ataupun pemerintah cemas yang menggerakkan pemerintah untuk stabilisasi harga jengkol dengan import jengkol ataupun import petai. Padahal kalau kita jeli harga jengkol tersebut sama dengan harga daging beku import yang dilakukan pemerintah dengan menjual harga murah. Harapan agar daging beku tersebut mampu menurunkan, menstabilkan harga daging sapi dipasaran.

Upaya kerja keras tersebut amat disayangkan tidak menuai hasil, harga daging dipasaran tetap mahal. Uapaya terus dilakukan hingga akhirnya dikeluarkan sebuah langkah import daging kerbau yang justeru lagi-lagi membuat nasib peternak dalam negeri merasa cemas sehingga timbul penolakan :

Saat ini pemerintah melalui Perum Bulog tengah melakukan impor daging kerbau asal India sebanyak 10.000 ton.

Rencananya, daging kerbau tersebut akan masuk bertahap dalam bulan ini hingga mencapai target pesanan sebanyak 10.000 ton.

Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana menyayangkan keputusan pemerintah terkait keputusan impor daging kerbau asal India.

"Jelas masuknya daging berisiko masuknya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Kedua, distorsi terhadap peternakan sapi rakyat. Semangat dan minat beternak sapi akan menurun drastis dan implikasinya kita menjadi net importer," ujar Teguh Boediyana kepada Kompas.com, Jumat [sumber berita]

sebuah langkah yangrancu dan bertolak belakang dengan canangkan swasembada sapi. Seolah negeri ini“sapiphobia” ada kekawatiran kalau tidak konsumsi daging sapi bakal kekurangangizi atau mungkin mati. Padahal kalau kita jeli dan jernih NKRI kaya akansumber daya nabati dan hewani, lautan yang luas banyak dihuni ikan-ikan segar,sungai yang bertebaran diberbagai pulau banyak dihuni ikan air tawar yang jugabisa dijadikan sebagai sumber gizi dan protein hewani selain daging sapi.

Warga Papua sejakdahulu kala konsumsi sagu, toh hingga kini mereka tetap ada dan berkembangbiak, warga madura yang dulu makan nasi jagung hingga kini mereka juga tetapada dan terus bertambah.

Kasus harga jengkolyang merangkak naik tajam, namun tidak membuat cemas warga dan pemerintahadalah bentuk sample harusnya ada perlakuan sama antara jengkol dan dagingsapi. Karena dua-duanya bukan makanan pokok jadi tidak usah bikin kalang kabutyang justeru hanya untungkan pihak kartel sapi dan oknum-oknum pengimportsemata.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline