Di balik wacana amandemen UUD 1945 yang digaungkan orang-orang terdekat istana makin deras muncul kepermukaan publik beberapa hari belakangan ini. Wacana ini berhembus kencang karena dianggap efektif untuk menyelamatkan ekonomi akibat pandemi covid-19 yang belum juga usai.
Bila perpanjangan masa jabatan Presiden selama 2 tahun benar terjadi, bisa dipastikan bakal mencederai demokrasi karena mengutak-atik konstitusi yang ada. Oleh sebab itu, kita sebagai rakyat harus menolak dan menentang wacana tersebut agar tidak terwujud.
Alasannya sangat mudah. Dalam perkembangannya atas wacana tersebut sebenarnya bertolakbelakang dengan agenda reformasi dahulu yakni membatasi kekuasaan agar tidak terjebak pada praktik otoritarianisme.
Konstitusi yang ada telah mengatur mengenai sistem presidensialisme yang menurut saya sudah tepat dan pas untuk dijalankan pemerintah hari ini. Di mana yang menjadi konsensus nasional ketika reformasi menghendaki pembatasan jabatan presiden hanya dua periode. Belajar dari pengalaman semasa Orde Baru, mengajarkan kita masa jabatan presiden yang terlalu lama cenderung kolutif.
Artinya, masyarakat di bawah akan selalu dibayang-bayangi rezim otoriter seperti yang pernah terjadi saat Soerhato memimpin Indonesia selama 32 tahun. Kekuasaan didominasi oleh orang-orang terdekat Presiden.
Wacana tak masuk akal. Legislatif, eksekutif, dan yudikatif begitu gencar-gencarnya berteriak negara ini menjunjung tinggi konstitusi. Tapi seakan, banyak konstitusi dilabrak dengan alasan kepentingan dan kemaslahatan bangsa dan Negara agar terselamatkan dari pandemi ini.
Menurut Penulis, pembatasan kekuasaan itu adalah hal yang benar dan sudah pasti final. Keputusan ini sudah disepakati semenjak reformasi. Tak ada jalan bagi pihak "pendengung" dalam hal ini partai politik yang tengah berkuasa (PDIP) di Gedung Senayan yang megah tersebut mencoba bermain dengan konstitusi.
Ditelisik lebih dalam lagi, sejauh ini sudah empat (4) dari 9 fraksi di MPR menyetujui amandemen 1945 untuk menghadirkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN). Setahu penulis, baru satu partai politik yang konsisten sejak wacana tersebut berhembus ke public menolak. Yaitu, Partai Demokrat.
Jangan sampai, parpol yang berkoalisi dengan penguasa ikut menyetujui wacana ini terealisasi. Terlebih masuknya PAN ke barisan partai koalisi pemerintah. Tentu semakin banyak peluang agar amandemen UUD 1945 ini terjadi. Selain peluangnya sangat terbuka. Isu ini akan semakin liar untuk hal-hal yang semakin merusak demokrasi tanah air.
Meski pihak-pihak yang berada di keliling Presiden Jokowi telah menangkis wacana tersebut tidak benar, jangan sampai rakyat terkecoh dengan modus-modus yang nantinya bakal melukai hati serta naruni penguasa merebut kekuasaan lebih lama seperti saat Soeharto menjadi Presiden.
Pihak koalisi penguasa seperti Ketua MPR Bambang Soesatyo yang mengatakan tidak ada pembahasan di internal MPR untuk mengubah Pasal 7 UUD 1945 yang mengatur soal masa jabatan presiden bisa jadi hanya kedok untuk menutupi isu agar tidak melebar ke mana-mana.