ANALISA KASUS KOH AHOK
Oleh : Alungsyah[1]
Memasuki sidang pertama hari ini (read-kemaren) tanggal 13 Desember 2016 kasus atas dugaan penistaan agama yang konon katanya dilakukan oleh Calon Gubernur Petahana Ir. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memasuki babak baru, dimana pada faktanya sidang ini merupakan sidang yang kali kedua menyita perhatian publik setelah sidang Jessica beberapa bulan lalu. khususnya mayoritas umat muslim di Indonesia. Sidang pertama ini digelar sekitar pukul 09.00 Wib pagi tadi (read-kemaren) dengan agenda mendengar dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) disertai dengan nota keberatan/eksepsi dari Penasehat Hukum terdakwa.
Jika ditarik jauh kebelakang, munculnya kasus ini disebabkan oleh perkataan Ahok ketika berada dikepulauan seribu yang dianggap menghina Al-qur’an, agama islam, ulama dan bahkan umat islam. Atas dasar itu pula reaksi datang silih berganti yang mengakibatkan terjadinya dua kali aksi damai serentak secara nasional pada tanggal 4 November 2016 (411) dan pada tanggal 2 Desember 2016 (212).
Aksi damai 411 dan 212 dilakukan setidaknya untuk menuntut Ahok segera dietapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan dalam kasus penistaan agama yang dilakukan olehnya. Desakan demikian mengakibatkan perubahan status yang tadinya saksi kini berubah menjadi tersangka atau bahkan terdakwa. Penegak hukum terkesan tak berdaya mengahadapi semua tekanan yang terjadi, seolah apa yang dilakukan 411 dan 212 merupakan kebenaran prosedur yang harus dilaksanakan dan bahkan penyidik dalam kasus ini menjerat ahok dengan pasal 156A KUHP dengan ancaman 5 (lima) tahun penjara. Kondisi ini tidak bisa kita ungkiri berdasarkan fenomena yang terjadi. Dimana penegak hukum tidak dipercaya dan hukum sudah tidak lagi dijunjung tinggi berdasarkan kewenangan yang sebenarnya, namun dibangun atas desakan dan tekanan semata.
Perspektif Hukum dan perdebatannya
Semua tindakan yang dilakukan oleh setiap warga Negara/setiap orang mendapatkan jaminan dan aturan dalam hukumnya, mana yang tidak boleh dan mana yang boleh. Setiap orang/setiap warga Negara tidak dapat bertindak atas keinginannya sendiri dengan cara mengesampingkan aturan hukum yang ada. Ia harus patuh terhadap pembatasan-pembatasan yang berlaku. Dengan kata lain, bahwa hampir semua aktifitas warga Negara mendapatkan pengturan didalam hukum, baik sifatnya yang berupa hak ataupun kewajiban. Karena Indonesia dibangun atas dasar hukum, tapi bukan atas dasar kekuasaan belaka sebagai mana diatur dalam pasal 1 ayat 3 UU 1945.
Salah satu tindakan yang dilakukan oleh manusia tidak hanya dimaknai sebagai perbuatan semata, akan tetapi yang sifatnya formalitas pun mendapatkan perhatian dimata hukum, contohnya saja apa yang terjadi saat ini. Dalam hukum pidana apa yang dilakukan dalam bentuk ucapan disatu sisi merupakan perbuatan yang terkualifikasi sebagai delik formil sebagaimana diatur dalam pasal 156A KUHP yang berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Delik formil dimaknai sebagai suatu perbuatan pidana yang sudah selesai dilakukan dan perbuatan itu memnuhi rumusan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan. Delik formil ini mensyaratkan suatu perbuatan yang dilarang atau diharuskan selesai dilakukan tanpa menyebut akibatnya.
Jadi disisi lain apa yang dilakukan oleh Ahok dalam bentuk ucapan jika dilihat dari pasal tersebut diatas merupakan perbuatan pidana yang dilarang dan itu memiliki ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara.
Selain itu penerapan pasal ini sangatlah beresiko tinggi, sebab pasal 156A KUHP merupakan pasal yang bersifat karet, tidak memiliki tolak ukur sedikitpun apa yang menjadi parameter seseorang telah melakukan penistaan atau penodaan terhadap agama dalam arti bahwa pasal tersebut bersifat subjektif yang dibangun berdasarkan suka tidak sukanya seseorang terhadap orang lain.