Jalan masih teramat jauh, mustahil berlabuh, bila gayung tak terkayuh.
(Iwan Fals)
Kuliah dan Orang Miskin
Di Indonesia, mayoritas orang miskin tidak bisa kuliah. Sebab kuliah tidak gratis. Karena tidak kuliah, maka akan lebih susah cari kerja. Kalau dapat kerja paling-paling jadi buruh kasar bergaji rendah. Kalau begitu mereka akan tetap miskin.
Negara memang tidak bertanggungjawab dalam menyelenggarakan pendidikan. Sehingga penyelenggaraannya oleh swasta. Bahkan di kampus-kampus negeri, negara juga hanya sebatas membantu, bukan penanggungjawab. Sebagaimana tercermin dengan jelas nama programnya BOPTN (Bantuan Operasional Pendidikan Tinggi Negara). Namanya saja bantuan, jadi hanya membantu, bukan bertanggungjawab. Maka artinya, kampus memang menjadi milik pasar, bukan milik negara.
Pasar punya logika jual-beli, ono rego ono rupo (mutu tergantung harga). Pendidikan berbiaya rendah maka sudah layak jika tidak mutu. Pendidikan yang bermutu, ya wajar kalau mahal. Dari sini muncul stratifikasi pendidikan, ada kampus rakyat (murahan) ada kampus elit (mahalan).
Orang miskin kalau toh bisa kuliah, tentu di kampus berbayar murah, dan karenanya tidak mutu. Kecuali di kampus negeri yang banyak dibantu negara. Tapi kampus jenis ini banyaknya tidak sebanding dengan kampus swasta. Artinya, dari sebagian kecil orang miskin yang bisa kuliah, sebagian kecil darinya yang bisa mengakses kampus yang bermutu.
Sementara untuk masuk di kampus elit, hampir selalu butuh keajaiban. Tanya saja, berapa jumlah anak buruh atau petani kecil yang kuliah di Universitas Gajah Mada atau Universitas Indonesia yang padahal kampus negeri? Pasti sejumput. Ada seorang kawan saya yang daftar di UGM lewat jalur SNMPTN dan lulus. Tapi karena tidak mampu membayar uang pangkal, akhirnya kandas untuk jadi mahasiswa UGM. Padahal UGM juga kampus negeri. Artinya, memang pasar sedemikian rupa menyaring orang-orang miskin untuk bisa kuliah. Apalagi kuliah yang bermutu.
Data dari Mendiknas menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi (APK PT) untuk jenjang pendidikan tinggi di Indonesia cuma mencapai 30%. Artinya, jumlah anak berusia 19-23 tahun yang melanjutkan ke PT cuma 30%. Sisanya 70 persen belum punya kesempatan untuk masuk ke PT. (http://www.dikti.go.id, 14 Januari 2014). Ini sangat rendah dibanding dengan negara lain seperti Korea Selatan yang 90%.
Dari kasus di atas, jelas kita bisa simpulkan bahwa negara tidak bertanggungjawab atas penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia sehingga tidak ada pemerataan pendidikan di Indonesia. Akibatnya, mayoritas orang yang miskin akan tetap miskin atau bertambah miskin, orang yang kaya akan tetap kaya dan bertambah kaya. Kita bisa lihat bagaimana jurang ketimpangan itu kian menganga. Koefisien tahun 2012 adalah 0.401, tahun 2013 menjadi 0.413.
Orang-orang miskin di Indonesia, karena mayoritas berpendidikan rendah, bakal lebih susah untuk mendapatkan akses sosial dan politik. Jarang orang miskin jadi dosen, teknokrat, ilmuwan, dokter, atau pejabat. Jarang kita temui wakil-wakil rakyat kita yang dari golongan miskin dan berjuang untuk orang miskin. Artinya orang miskin susah secara ekonomi dan tidak punya keterwakilan politik. Sehingga regulasi-regulasi yang dihasilkan juga masih jauh dari memihak orang miskin.