Minggu, 25 Desember 2011. Sejak pagi hujan turun mengguyur kotaku membawa dingin yang menggigit. Aku yang alergi debu dan udara dingin mulai merasakan efeknya. Setelah selesai berbenah, bersih-bersih, dan membantu Ibu memasak aku putuskan istirahat sejenak di kamar untuk meredakan reaksi alergiku yang tidak kunjung mereda. Aku katakan ke Bapak dan Ibuku kalau aku mungkin tidak bisa ikut mengunjungi saudaraku yang sedang merayakan natal hari ini.
Sembari membaca buku aku berjuang mengatasi bersin-bersin dan hidung meler yang bukannya berhenti malah tambah parah. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan Ibu muncul membawa semangkuk mie rebus dan teh panas buatan Ibu sendiri. Ibu minta aku segera memakannya panas-panas untuk sedikit meredakan sakitku.
Entah kenapa aku begitu terharu atas perhatian Ibu, meski ini hal kecil dan biasa bagi Ibu, tapi buatku yang selalu jauh dari beliau, semangkuk mie ini terasa begitu istimewa dan berbeda dengan mangkuk-mangkuk mie yang lain. Jarang-jarang aku bisa menikmati mie spesial buatan Ibu seperti ini. Dengan sedikit air mata mengumpul di mata, kuhabiskan dengan lahap mie tersebut. Sambil menungguiku makan Ibu bercerita banyak hal yang aku lewatkan selama aku tidak di rumah, dan sepertinya tidak ada habisnya. Ingin rasanya waktu berhenti agar aku bisa menikmati lebih lama momen ini, momen "Semangkuk Mie Cinta" bersama Ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H