https://www.youtube.com/live/Esc48YcKxqQ?si=QQwvsom7HnhTTi0C
Jauh sebelum abad pertama Masehi, di tengah-tengah masyarakat, sesuai dengan sikon masanya, telah ada gaya hidup hedonis.
Hedonis kemudian menjadi hedonisme (Yunani, hedone, artinya kesenangan, kenikmatan, bersenang-senang), merupakan gaya hidup yang mengutamakan dan mengagungkan kesenangan serta kenikmatan.
Pada sikon itu, manusia, setelah memenuhi kebutuhannya, berupaya untuk memuaskan hampir semua keinginannya.
Dan bisa saja, keinginan-keinginan itu tidak begitu penting, tetapi hanya merupakan suatu prestise, kebanggaan serta kecongkakan.
Di masa lalu, misalnya pada masyarakat Hellenis, tampilan gaya hidup hedonis berupa pengumpulan kekayaan; berkumpul di dan dalam theater (colleseum) sambil menonton opera; hura-hura pada arena pertarungan antara manusia-manusia dan manusia-binatang buas; perjudian, pesta pora (termasuk pesta seks dan penyimpangan seksual). Bahkan, para kaisar, pada masa lalu, menjadikan perang dan darah sebagai salah satu sumber kesenangan.
Oleh sebab itu, mereka selalu melakukan pengerahan sejumlah tentara untuk ekspansi kekuasaan sekaligus mendapat kepuasaan batin, ketika melihat darah tercurah akibat tusukan pedang dan tombak.
Gaya hidup hedonis yang dilakukan para kaisar, kaum bangsawan, orang-orang yang mempunyai kekuasaan dan kedudukan, serta masyarakat kaya biasanya menjadikan orang lain sebagai korban; korban mereka adalah para budak laki-laki dan perempuan serta tawanan perang.
Pada Konteks Kekinian di Indonesia, banyak orang Indonesia (terutama di Metropolitan) berhasil menguasai teknologi informasi.
Kemudahan seseorang mendengar, membaca, dan melihat berbagai informasi dan gaya hidup dari luar (terutama dari dunia barat), dan terjerumus ke dalamnya. Sehingga mereka dipengaruhi dan terpengaruh, meniru serta mempraktekkannya pada konteks hidup dan kehidupannya. Walaupun, seringkali apa yang ditiru dan dipraktekan tersebut tidak sesuai dengan sikon sosial-budaya setempat atau lokal.