Pondok Cina, Depok Jawa Barat | John Corry, 1801, dalam A Satirical View of London at the Commencement of the Nineteenth Century, pertama kali memperkenalkan istilah femisida pada kasus pembunuhan terhadap perempuan. Namun, istilah tersebut seakan tenggelam dari khasanah Ilmu Pengetahuan, Hukum, Ruang Interaksi Sosial, HAM, dan lain sebagainya.
Tahun 1976, Profesor Diana EH Russell (kini telah tiada), di Pengadilan Internasional Kejahatan terhadap Perempuan, menggunakan istilah Femisida (dari Femicide Suicide, Latin atau membunuh perempuan) untuk kasus-kasus kekerasan dan diskriminasi laki-laki terhadap perempuan. Femisida pun dikenal publik secara luas; terutama pelopor, pakar, dan aktivis feminis anti kekerasan laki-laki terhadap perempuan.
Pada Simposium PBB tentang Femisida pada tanggal 26 November 2012, Diana EH Russell mengungkapkan tentang Femisida sebagai pembunuhan perempuan oleh laki-laki yang dimotivasi oleh kebencian, penghinaan, kesenangan, atau rasa memiliki terhadap perempuan; pembunuhan terhadap (satu atau lebih) perempuan oleh (satu atau lebih) laki-laki.
Femisida istilah yang digunakan untuk menggambarkan pembunuhan terhadap perempuan (karena jenis kelamin atau gendernya); atau bentuk kekerasan berbasis gender yang paling ekstrem; yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan, dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan. Secara Internasional, Femisida mencakup pembunuhan terhadap
* perempuan
* anak perempuan.
* anggota keluarga perempuan
Kasus Global
Laporan UN Women menunjukkan bahwa Femisida merupakan upaya penglenyapan Hak Hidup dan Kehidupan Perempuan. Misalnya,
- Tahun 2023, sebanyak 85.000 perempuan dan anak perempuan dibunuh secara sengaja oleh laki-laki
- 60% kasus dilakukan oleh orang terdekat mereka, seperti pasangan intim atau anggota keluarga.
- Setiap Hari, sekitar 140 perempuan dan anak perempuan di seluruh Dunia kehilangan nyawa di tangan pasangan atau anggota keluarganya.
- Ada di tempat paling berbahaya; rumah yang seharusnya menjadi perlindungan, malah menjadi sumber ancaman terbesar
Femisida sebagai Penindasan (yang berlanjut pada gangguan jiwa, cacad, kematian, dll), Berbasis Gender. Femisida melanggar hak-hak dasar perempuan, seperti,
1. Hak hidup: Tak adada seorang pun yang berhak merenggut nyawa perempuan hanya karena ia perempuan.
2. Hak atas rasa aman: Perempuan hidup dalam ketakutan akan kekerasan yang bisa terjadi kapan saja.
3. Hak atas kesetaraan: Femisida adalah bukti nyata ketidaksetaraan gender.